Surat Kepada Mgr Wilhelmus Van Bekkum

Rabu, 14 Juni 2017 | 20:14 WIB
Share Tweet Share

Monsinyur Willhelmus van Bekkum. [Istimewa]

Yang Mulia Monsinyur Willhelmus van Bekkum, 

Sore ini saya ingin sekali menulis surat untuk Monsinyur setelah me-retouch potret tua Monsinyur yang download dari internet.

Seperti yang Monsinyur lihat di potret ini, saya mengedit kain yang melilit di pinggang Monsinyur dengan kain songke. Semoga Monsinyur suka. 

Apakah Monsiyur masih ingat saya? Dulu waktu masih di SMP Seminari Kisol, Manggarai Timur, NTT, saat liburan Natal, saya datang membawa  (kue) tar bikinan mama saya untuk Monsiyur di rumah SVD.

Saat sudah kuliah di Yogya, ketika liburan, saya juga sempat datang bertemu Monsinyur di rumah SVD. Waktu itu Monsinyur sedang mengumpulkan cerita-cerita rakyat Manggarai. Kita duduk di ruang tamu.

Monsinyur sempat mengungkapkan keprihatinan akan perkembangan dunia pendidikan di Manggarai yang cenderung ke sekolah-sekolah umum. Hampir tidak ada sekolah yang mengajarkan ketrampilan-ketrampilan yang bisa kerja setelah tamat. 

Ya, saya ingat waktu kecil dulu ada sekolah Ambaks yang menghasilkan tukang-tukang trampil hebat. Sekolah seperti itu sudah tidak ada lagi.

Sempat juga Monsinyur menyampaikan keprihatinan soal gizi makanan bagi ibu-ibu hamil di Manggarai. Harapan hidup seorang manusia ditentukan oleh asupan gizi makanan sang ibu untuk bayi dalam kandungan. Begitu kata Monsinyur waktu itu.

Pada saat itu saya sungguh merasakan betapa besarnya cinta Monsinyur kepada Manggarai. Monsinyur tidak mengambil apa-apa. Tidak meminta apa-apa. Hanya memberi untuk Manggarai.

Seluruh hidup Monsinyur didedikasikan bagi Manggarai. Saya yakin karena besarnya cinta itu, Monsinyur memilih mengakhiri ziarah kehidupan di dunia fana ini di Manggarai, jauh dari famili, sahabat di kampung halaman Monsinyur. Manggarai telah menjadi kampung halaman Monsinyur. Monsinyur telah menjadi orang Manggarai, Kraeng Adak Mese di Manggarai. 

Monsinyur Yang Terkasih, 

Pada saat Monsinyur meninggal di Rumah Sakit St. Rafael Cancar, tanggal 11 Februari 1998, saya sudah merantau ke Jakarta. Sedih mendengar kabar kepergian Monsinyur itu.

Tapi juga ada kegembiraan dan kebanggaan. Monsinyur meninggalkan di tanah misi. Dalam rangkulan ibu bumi Manggarai yang Monsinyur cintai. Di tengah hasil-hasil karya Monsinyur sejak awal Monsinyur jatuh cinta pada bumi Manggarai. 

Saya teringat motto Monsinyur, "Immaculata cordis sacrum" - Hati suci yang tak bernoda. Bagi saya Monsinyur meninggal sebagai orang suci bagi umat Katolik Manggarai. Santo-nya orang Manggarai. 

Saat pertama kali saya mengujungi Monsinyur di halaman kathedral baru, saya sedih karena makam itu sepi dari nyala lilin dan bunga-bunga.

Apakah Monsinyur yang berjasa besar bagi bangsa Manggarai ini sudah dilupakan? Sempat saya bertanya begitu dalam hati. Semoga hari-hari belakangan ini tidak lagi seperti itu. 

Ya, hari-hari belakangan ini.... saya kembali sedih. Ingin sekali saya berziarah ke makam Monsinyur untuk menumpahkan air mata kesedihan saya di batu nisan makam Monsinyur itu.

Ingin sekali saya bertanya kepada Monsinyur, adakah salah dan dosa pendahulu kami kepada Monsinyur yang tak sempat kami mohonkan maaf dan ampun? Apakah sudah kami laksanakan Adat Kelas sebagai penghormatan kami terakhir bagi Monsinyur? 

Bagi saya Monsinyur adalah orang Manggarai yang mendidikasikan hidup hingga ajal menjemput dan dimakamkan di bumi Manggarai dan karena itu Monsinyur juga harus diperlukan sesuai dengan tradisi adat Manggarai. Semoga saja upacara Adat Kelas itu sudah dilakukan, Monsinyur. 

Monsinyur, jika para pendahulu kami, dan kami sendiri, telah menyakiti hati dan mengecewakan Monsinyur, baik sengaja maupun tidak sengaja, baik secara sadar maupun tidak sadar, kami mohon Monsinyur memaafkan dan mengampuni kami.

Dan mohon kepada Monsinyur untuk menyertai dan membimbing Gereja Katolik Manggarai di tengah masa krisisnya saat ini. 

Salam Damai Monsinyur, 

Gabriel Mahal

Editor: Gusti


Berita Terkait

Komentar