Puisi Itu Bernama Rindu Meski Ada Rinda

Selasa, 22 Agustus 2017 | 21:17 WIB
Share Tweet Share

Ilustrasi.

Oleh: Yogen Sogen

Angin malam membangunkan gelombang ingatan, menderas pada nanar pikiranku, meretas pada sisi gelap tubuhmu. Setelah sebuah kretek habis kubakar dalam renung yang merelung di tudung malam.

Sunyi itu kudekap, tak ada tawa pun senyum yang menggelitik di etalase malam yang bergerak tanpa melirik kematian waktu di wajah hampaku. Sepi begitu memuncak. Hadirkan bait-bait gigil dalam angin sutra yang mendekap deras dan begitu ranum ketika tungku penghangat di depanku habis berpetualang dengan baranya, sedangkan puncak sepiku masih tandus di ujung kelam yang berdecak riang.

"Kau lihat wajah malam?" tanya Rinda menebas lamunku
"Ah, setiap malam adalah kesombongan," jawabku. 
"Tapi pasti ada wajah yang berpetualang", goda Rinda dengan keingintahuan seolah ia dapat membaca lamunku,
"Kau tahu, malam adalah dunia para penyair memintal puisi dengan kebodohannya" timpaku dengan menaruh sedikit kesal.
"Tapi kau juga suka bersyair kan, kenapa tidak membuat puisi?" pintanya agak sedikit kesal.

Rinda terdiam. Begitupun aku. Kursi tua dan meja yang sudah berumur senja menatap kami dengan samar yang kian meredup meresapi belaian pertanyaan yang bergelimang ditimang malam dengan rindang sebatas pandang di wajah pasinya yang kelam.

Perempuan selalu seperti itu. Mereka datang dengan serimbun mawar yang terhampar pada mata lelaki. Hanya untuk menampilkan drama seribu warna yang kadang tidak bisa dipecahkan hanya dengan sekilas pandang. Mereka adalah penipu yang ulung. Karena mungkin bagi mereka seorang lelaki adalah maha mengetahui.

Mungkin juga mereka selalu berharap akan sebuah pengertian dari lelaki bahwa di puing-puing pemikiran lelaki ada sejagat penafsiran yang mampu meretas kedalaman arti yang tersembunyi pada tepian hatinya. Aku bukan dewa Hermes yang mampu menerjemahkan bahasa dewa langit kepada masyarakat Yunani. Bukan seperti Hermes yang dapat memecahkan makna yang tersembunyi. Bahkan mengenali diriku saja aku belum tuntas. Masih serupa seorang petualang yang mencari oase bagi jiwa dan hati yang tandus. Resahku dalam hati.

"Kapan balik ke kota hujan?" pertanyaan santai namun mendobrak pekat malam menusuk lamunku bagai belati. Entah kenapa Rinda tiba-tiba memunculkan pertanyaan yang tidak bersahabat seolah sudah ada jarak yang tak bisa untuk disulam kembali.

Aku terdiam. Berpura-pura​ memahami pertanyaan Rinda dengan mengernyitkan dahi dan sedikit memandang wajahnya yang kaku. Kali ini kekesalannya kian menikam, jelas terlihat pada garis wajahnya yang tak lagi bersahabat namun masih tetap manis.

Memang sudah hampir sebulan Rinda dan aku tak lagi menampilkan hubungan yang dekat. Aku mencoba menyibukkan diri dengan tugas akhir kuliah. Namun itu hanyalah kepura-puraan, sejenak melahap setiap jalan waktu dengan diri sendiri. Semoga Rinda mengerti karena yang kutahu ia adalah perempuan yang dewasa yang selalu mendukung jejak mimpiku. Entah ia tahu atau tidak seperti apa mimpiku. Tapi ia selalu menyemangati tabir impianku. Meski ia tak selalu mengetahui.

"Kau melamun?" tangkisku. 
"Ya, memahami pemikiranmu yang ingin kubunuh!" ungkapnya kesal seraya mengepalkan tangannya.
"Melihatmu yang sedari tadi hanya menatap kekosongan membuatku cemburu. Andai aku malam bagimu mungkin kita sudah larut dalam sepotong cerita yang romantis" sambung Rinda dengan harap yang menderap di bibir mungilnya.

Malam semakin menyergap keadaan. Kian rindang di bawah langit yang semakin sengit memamerkan pertanyaan Rinda hingga begitu pengap di dadaku. Keadaan sudah kepalang sadis mengikis asa dan rasa. Namun kubiarkan saja ia bergulir di jaring malam berharap pagi segera melintas di jagat malam yang ada Rinda namun tak lagi nada gelak dan tawa.

Libur kali ini membuatku prematur. Flores kali ini bagiku adalah padang gersang nan tandus. Hamparan gunungnya sudah bagai gunung batu, yang sigap siap menyergap kepongahanku. Tak ada yang ingin kudaki sekadar menikmati panorama yang dititipkan Tuhan di bumi. Tak ada yang kuinginkan dari tubuhnya. Lautnya pun sama sepi, tak ada yang indah. Memandang hamparan laut bagiku serupa garis yang berjajar lurus semakin pupus pada padang pandanganku.

Seharusnya kudekap gunung dan lautnya untuk menuntaskan rindu yang terpendam bahkan sudah menjadi dendam. Seharusnya kutuntaskan rindu pada pulau ini. rintihku pada kelam malam yang kian merintik.

"Rindu.." desahku. 
"Siapa yang kamu rindukan?" Rinda terbelalak dengan spontan ke arahku sambil menjejalku dengan pertanyaannya.

Malam ini seperti berita kematian. Seorang yang pergi meski degup jantungnya belum tuntas atas sandiwara hidup. seorang yang pergi meski tak seharusnya pergi. Ia meninggalkan sepi dan hari-hari yang prematur. Ia pergi meninggalkan rindu. aku merindukannya.

"Kau tahu mengapa aku memilih diam dan tak lagi​ menulis puisi?" tanyaku kepada Rinda.

"Tidak, karena kamu adalah pembunuh yang selalu bersembunyi dalam pertanyaanku, dan aku memilih untuk tidak mengetahui hal itu," jawab Rinda dengan nada kesal namun Jujur.

Aku berdiri dari tempat dudukku, melangkah menuju meja tua yang di atasnya ada sebuah buku yang kusimpan. Dalam buku itu ada sepenggal puisi yang masih setengah dan belum tuntas kutulis sewaktu dulu masih mencintainya. Masih memilikinya.

"Ini ada sebuah puisi yang kutulis dulu, tak perlu kau bertanya arti yang tersembunyi pada setiap diksinya, karena tubuh puisi itu kutulis tak menggunakan metafora yang membuatmu bingung," sambil memberikan sepotong kertas yang dalam tubuhnya ada sepenggal puisi kepada Rinda, aku berpamitan dengannya dan memintanya untuk berhenti berpetualang pada harapannya untuk bermuara pada rahim rasaku.

"Luharap kau mengerti Rinda," aku melangkah menuju setapak kecil dan kembali pada mimpiku.

Pada bayang tubuh Rinda yang semakin meredup di pandanganku aku berharap Ia tak mengadili sepenggal Rindu dalam Puisi untuk Rindu yang telah pergi atas sebuah kecelakaan maut yang merenggut kisahku dalam asmaraloka yang masih rimbun di setiap sajak nafasku.

"Rindu kekasihku aku merindukanmu meski ada Rinda."

Sepenggal puisi yang tak tuntas kutulis atas sebuah rasa yang merindukan Rindu meski ada Rinda.*

Kota Hujan, 22 Agustus 2017.

Penulis, Mahasiswa FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia universitas Pakuan Bogor. Penulis Buku Antologi puisi "Nyanyian Savana"

Editor: Elnoy


Berita Terkait

KOLUMNIS

Undang-Undang ITE Mengkriminalisasi Budaya

Sabtu, 17 Juni 2017
KOLUMNIS

Puisi Idul Adha "Bulu Domba"

Kamis, 31 Agustus 2017
KOLUMNIS

Seni memperhatikan: Fenomena Hewan Bertanduk di NTT

Kamis, 31 Agustus 2017

Komentar