ROHINGYA: Jangan Dihadapi dengan Gaya Sumbu Pendek

Selasa, 05 September 2017 | 22:35 WIB
Share Tweet Share

Aung San Suu Kyi Dikecam Soal Muslim Rohingya [foto: istimewa]

Luar biasa empati negeri ini untuk warga etnis Rohingya yang tertindas di negeri tetangga, Myanmar. Berbagai aksi solidaritas digelar. Di jalanan jakarta dan sekitarnya tampak sejumlah pemuda dan pemudi memegang kardus dan berharap donasi seikhlasnya dari para pengendara mobil dan sepeda motor.

Tidak ketinggalan, elite politik seperti Muhaimin Iskandar ikut menggalang dana bantuan untuk meringankan beban derita warga etnis Rohingya yang terpaksa tinggal di pengungsian. Politisi yang akrab disapa Cak Imin itu menyerukan warga PKB dan NU menyisihkan gaji satu bulan untuk didonasikan kepada korban pertikaian Myanmar.

Tidak hanya penggalangan dana. Penggalangan laskar juga dilakukan. Adalah FPI yang menghimpun sukarelawan untuk diterjunkan ke wilayah konflik di daerah bagian Rakhine. Walaupun aksi menghimpun laskar ini menuai banyak pertanyaan. Untuk apa para laskar itu dikirim? Untuk membantu kaum militan Rohingya berperang melawan kezaliman warga dan pemerintahan Myanmar?

Sudahlah. Soal menghimpun laskar biarkan mereka yang doyan memanfaatkan laskar saja yang mengurusnya. Mereka mungkin merasa bisa menguasai dan menaklukan dunia dengan kekuatan laskar yang mereka miliki. Saya cuma khawatir aksi patriotisme seperti ini sama dengan bunuh diri konyol.

Yang lebih berbahaya lagi, kalau kedatangan para laskar itu kelak menyulut konflik fisik Indonesia dengan Myanmar. Apa ga berabe negara ini? Bukannya mau jadi negara pengecut. Tapi perlu diketahui, persoalan Rohingya adalah konflik bersejarah yang panjang. Jadi,  janganlah dihadapi dengan gaya sumbu pendek.

Negara sudah melakukan tindakan, dan tentu tindakan yang elegan, proporsional, dan tidak grasa-grusu seperti cacing kepanasan. Lobi, diplomasi, bantuan kemanusiaan sudah digalakkan. Memang tidak bisa serta merta menghentikan penindasan terhadap etnis Rohingya. Tapi setidaknya sebagai bangsa beradab Indonesia sudah menunjukkan sikap tidak pernah menutup mata terhadap kejahatan kemanusiaan di muka bumi ini.

Kalau saja kasus seperti Rohingya terjadi di Indonesia, pastilah sudah dipadamkan dengan mudah, semudah membubarkan HTI atau ormas radikal yang gemar unjuk gigi terhadap negara. Tapi ini di negara lain bung! Dan Indonesia tidak bisa seenaknya menggeruduk Myanmar. Jadi, janganlah berlagak 'mentang'mentang'; mentang-mentang negara besar jadi bertindak seenak jidat.

Jangan juga berpikir seperti Fadly Zon yang menuduh pemerintah lamban turun tangan karena etnis Rohingya itu beragama islam. Mau provokasi apa lagi ini politisi senayan? Nanti Jokowi memberi jawaban sederhana tapi makjleb: "Kasusnya di Rohingya, kok bolanya dilempar ke saya?"

Mending Fadly Zon memikirkan nasib KPK  dalam kondisi genting. Anda itu wakil rakyat Indonesia, bukan wakil rakyat Myanmar. Peras otakmu untuk kemaslahatan rakyat Indonesia, dan jangan terlalu banyak kucurkan keringat untuk rakyat negeri tetangga. Apalagi bila itu dilakukan dengan niat busuk, mengimpor masalah Rohingya dan membesarkannya di Indonesia.

Rohingya penting diperhatikan, karena manusia yang tewas dan terluka di sana adalah bagian dari kemanusiaan kita. Tapi di dalam negeri kita sendiri ada persoalan yang sedang genting. Urusan genting itu terkait eksistensi lembaga penumpas koruptor, KPK. Sudah sekitar dua minggu ini, benteng terakhir menahan erupsi korupsi di negeri ini digempur habis-habisan.

Gempuran datang berupa isu pertemuan 7 penyidik KPK dengan Miryam salah satu saksi juga tersangka kasus E-KTP. Lalu muncul friksi internal antara penyidik senior Novel Baswedan dengan Direktur Penyidikan KPK Brigjen Aris Budiman.

KPK sedang di persimpangan kritis. Bisa-bisa lembaga ini babak belur dan hancur lebur. Pembusukan dari dalam tubuh KPK memberi angin segar kepada pihak luar yang selama ini menyasar kinerja sekaligus eksistensi lembaga penegak hukum paling dipercaya publik itu. Friksi internal memberi amunisi baru bagi pansus angket KPK untuk membidik lembaga ini. Masinton Pasaribu bahkan berani menantang KPK untuk memberinya rompi oranye dan menjebloskannya ke dalam penjara.

KPK benar-benar sedang mengalami situasi genting. Ada turbulensi yang sangat kuat di Kuningan. Perpecahan internal membuat KPK seperti kehilangan separuh pegangan. Kondisi ini sangat memprihatinkan mengingat  semua lembaga pimpinan Agus Rahardjo itu tengah serius menuntaskan kasus mega korupsi E-KTP.

Apakah kita akan membiarkan kasus korupsi yang merugikan negara sampai triliunan rupiah  menguap begitu saja? Lalu kepada siapa lagi anak-anak negeri ini menaruh kepercayaannya dalam menjaga harta kekayaan negara?

Sodara-sodara, tidak ada yang salah dengan empati yang begitu besar terhadap nasib etnis Rohingya yang tertindas di Myanmar. Tidak ada yang salah dengan berbagai aksi galang dana atau galang laskar sekali pun untuk menyelamatkan warga etnis Rohingya.

TAPI KITA SALAH BESAR, JIKA KITA TERLALU SIBUK MENGURUSI MUSIBAH DI NEGARA TETANGGA DAN LUPA MENGURUS MASALAH DALAM NEGERI KITA SENDIRI. INGAT!! MUSUH TERBESAR NEGARA DAN BANGSA INI ADALAH KORUPSI.

Tragedi Rohingya tak bisa tidak memang telah menjadi luka sejarah yang mencederai kemanusiaan dengan tiupan isu sara. Menjadi keprihatinan dunia dan termasuk Indonesia sangat bergairah hendak menolong.  Tapi harus tetap elegan dan menghargai kedaulatan negara lain. Bukan sok jadi pahlawan padahal ngurus diri sendiri saja tidak becus. 

Penulis: Vinct Br

Editor: Elnoy


Berita Terkait

Komentar