Undang-Undang ITE Mengkriminalisasi Budaya

Sabtu, 17 Juni 2017 | 06:38 WIB
Share Tweet Share

Ilustrasi

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diakseskan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/pencemaran nama baik.” (pasal 27 ayat 3 UU ITE) 

***

Di dalam suasana demokrasi,  kritik itu harus disuarakan dalam ketajaman berpikir. Akulturasi kebudayaan yang menuntun Indonesia sampai titik ini memberi kesempatan bagi setiap individu untuk menyaringnya secara serius. Kita, tidak harus membutuhkan analisa akademis dari akademisi lalu menjadikannya sebagai sebuah referensi paten yang kemudian dipercaya secara mutlak. Budaya berdetak di dalam jantung manusia, berdenyut dalam nadinya.

Budaya yang berproses di tengah peradaban Indonesia menghasilakan ungkapan-ungkapan tajam, bahkan terdengar amat kasar. Seperti, batak tembang langsung lu, langit makin mendung melecehkan, jawa koek, gato loco, dan lain sebagainya. Masih banyak lagi deretan ungkapan tajam hasil keadaban budaya yang berbiak di tengah masyarakat.

Ungkapan, anekdot, atau guyonan semacam ini menghuni pikiran manusia Indonesia. Manusia Indonesia adalah manusia sosial, jadi menghasilkan percakapan-percakapan tajam dalam setiap ucapannya.

Sebetulnya, ketika diperiksa lebih dalam dan melihatnya dengan lebih makroskopis, percakapan tajam di atas (bahkan kedengaran seperti memaki) menunjukan tautan batin yang sangat dalam dari masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya. Ia bahkan menunjukan tingkat spiritualisme budaya, bahwa ungkapan seperti itu menunjukan sikap universal masyarakat Indonesia yang sedari lahir, diasuh oleh budaya.

Kita lihat, ucapan hasil kenikmatan berbahasa itu dicegat oleh UU ITE.

Konon, sebelum Soekarno berpidato di hadapan masyarakat Jawa. Ia menanyakan kepada masyarakat untuk menggunakan bahasa ngoko atau kromo. Masyarakat Jawa mengijinkan untuk menggunakan bahasa ngoko, semenjak saat itu menyemburlah istilah Islam sontoloyo.

Soekarno tidak dimusuhi oleh rakyat jawa karena ucapan itu. Inilah yang menunjukan tautan batin yang amat dalam antara budaya, ungkapan-ungkapan tajam, serta sikap universalitas masyarakat Indonesia.

Belakangan kita mendapatkan hadiah dari parlemen karena melahirkan UU ITE. Suatu UU yang cukup kontroversial dalam lambung demokrasi. UU ITE ini memberikan kesempatan terhadap setiap individu untuk mengadu di hadapan hukum lantaran masalah sederhana yang sebetulnya bisa diselesaikan lewat diskursus. Bahkan UU ini juga menjadi fasilitas negara dalam rangka mencegah percakapan publik secara lebih tajam.

Budayawan Saud Sitomorang dipidana lantaran mengucapkan dua metafora yang sangat biasa di dalam dunia seniman, untuk mengekspresikan keresahannya terhadap seseorang. Bangsat, dan Jangan ngancam - ngancam kayak lonte tua yang tidak laku.

Selain karena metefora sangat dekat dengan kehidupan seniman , soalnya adalah, tidak ada fasilitas bahasa yang kedengaran lebih sopan yang mampu menarasikan keresahannya. Pada akhirnya ia tetap dipidana karena menggunakan metafora itu.

UU ITE adalah kebijakan yang mengkriminalisasi budaya. Ia mencegah perakapan-percakapan tajam antarmanusia berbudaya, instrumen hegemoni negara, serta kriminalisasi terhadap proses kebudayaan.

Demokrasi kita, menyelenggarakan aturan-aturan yang melacuri kebebasan rakyat. Sebuah jebakan untuk mengekang ekspresi keresahan secara maksimal, sampai pada tingkatan linguistik. Pada prinsipnya, UU yang dirumuskan oleh parlemen mesti berkembang dari defenisi kebebasan berekspresi, bukan malah memerkosannya.

Penghinaan itu tidak dapat diidentifikasi. Walaupun delik aduan mendapat tempat di dalam Undang-Undang, kehadiran aturan ini meradikalisasi demokrasi. Demokrasi berkembang karena urgensitas kebebasan. Demokrasi adalah sistem yang sangat dewasa. Ia memastikan bahwa setiap individu mampu mengedit perilakunya dengan sadar demi merawat stabilitas masyarakat.

Kemarin, seorang wanita menulis status di facebook tentang orang NTT yang intoleran. Karena status itu ia dilaporkan. Padahal epistemik origin manusia Indonesia adalah hina menghina. Jika pikiran itu lisan diucapkan maka tidak ada persoalan, tapi karena dituliskan di facebook ia dilaporkan lalu jadi persoalan yuridis, ironi.

Kehadiran Undang-Undang ini adalah sebuah jebakan, dalam rangka menciptakan suatu kultur politik yang sangat syarat dengan kebodohan. Bisa jadi, konflik horizontal sengaja difasilitasi oleh negara agar kekritisan terhadap rezim yang berpotensi totaliter itu lumpuh.

Bunyi pasal pasal 27 ayat 3 UU ITE:

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diakseskan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/pencemaran nama baik.”

Kita lihat bahwa, pasal ini berpotensi multitafsir. Defenisi pencemaran nama baik dipertanyakan. Ketersinggungan itu, tidak dapat didefinisi. UU yang lahir tetapi tidak dengan usaha untuk memberikan pendidikan demokrasi terhadap rakyat, akan membuat persentasi demokrasi kita semakin mengecil.

Budaya Indonesia adalah budaya musyawarah, bukan budaya formal–sistemik. Kehadiran UU ini memotong musyawarah menjadi pidana. Ruang diskursus yang mestinya difasilitasi di dalam demokrasi untuk mempertemukan pandangan dilenyapkan oleh kehadiran UU ITE. Budaya mufakat pun ikut hilang, semuanya disepakati di meja pengadilan.

Kita ingin Indonesia berkembang menjadi bangsa yang beradab dengan sistem demokrasi. Menjadi bangsa yang besar dengan jalan pikiran demokrasi. Budaya tidak boleh dikrimininalisasi atas dasar kenyamanan setiap individu, atau demi menyamankan posisi rezim yang antikritik.

Rezim yang tidak mengerti budaya akan menghasilakan kebijakan yang salah bahkan menghinanya. Ataukah ada motif oportunis di balik diselenggarakan aturan ini?


Editor: Elnoy


Berita Terkait

Komentar