5 Jenis "Sarjana Nganggur" dalam Kamus Orang Manggarai

Rabu, 23 Agustus 2017 | 05:40 WIB
Share Tweet Share

Pendidikan macam apa yang tidak mencetak sarjana nganggur?

“Saat ini banyak sarjana yang nganggur. Kampus dituntut untuk mencetak tenaga siap pakai, bukan siap nganggur!" Pernyataan miris seperti ini sering terucap dan karena selalu berujar demikian maka seolah-olah menjadi suatu kebenaran.

Tidak salah jika pandangan seperti ini muncul karena didasari pemahaman yang belum tuntas tentang pendidikan berbasis link and match. Dipahami bahwa kalau sudah bergelar sarjana, orang itu punya tempatnya di kantor, sebagai pegawai, terkusus PNS. Jika tidak, orang bilang percuma sekolah jadi sarjana, pada akhirnya nganggur juga.

Pola pikir seperti ini di satu sisi mengkritisi kebijakan pemerintah yang mencetak sarjana nganggur. Atau pemerintah tidak menyiapkan lapangan pekerjaan buat para sarjana yang dihasilkannya. Di sisi lain, suatu bentuk sinis untuk tidak dibilang pelecehan atas usaha orang yang sudah mengeluarkan banyak duit untuk  bayar uang sekolah dan menghabiskan waktu dan tenaga untuk belajar supaya bisa meraih sarjana. Juga pelecehan terhadap pemerintah yang seolah-olah telah mencetak sarjana nganggur, karena tidak menyiapkan lapangan kerja buat mereka. Sinisme seperti ini bisa saja menjadi salah satu sebab orang apatis dengan dunia pendidikan saat ini. 

Tidak bermaksud mempersempit wawasan analisis.  Tetapi,  biar lebih konkret,  pola pikir seperti ini beredar di kepala orang Manggarai umumnya.  Semoga saja tidak ada di daerah lain yang punya persepsi sejenis. Maka saya coba menelisik lebih dalam logika orang Manggarai di balik menjamurnya persepsi 'sarjana nganggur' ini.  

Persepsi  ‘NGANGGUR' dalam LOGIKA ORANG MANGGARAI

Ada beragam pemahaman kata nganggur dalam sosialita orang Manggarai. Saya sebut ada lima (5) pemahaman di sini.

Pertama, nganggur itu artinya tidak kerja apa-apa, ‘lonto acu’ istilah bahasa Manggarainya. Berarti kalau ada sarjana nganggur, berarti sama saja bilang ada sarjana ‘lonto acu’ (bhs Manggarai, artinya ‘duduk melongo’), sama sekali tidak kerja apa-apa.

Kedua, nganggur berarti tidak kerja, tapi duduk-duduk saja sambil menunggu kesempatan untuk mencaplok duit. Artinya, ada sarjana yang seperti itu, ke sana-kemari tidak kerja, tapi bikin ribut-ribut yang ujung-ujungnya dapat duit dari situ. Kerjanya  ‘Tukang kompor’, istilahnya; gampang diperalat atau dibayar sarjana seperti ini.  Itu namanya sarjana ‘motang lonto’ (bahasa Manggarai, artinya ‘Babi Hutan yang hanya menunggu upeti/bayaran  atau ada kesempatan mangsa lewat di depan mukanya baru terkam dan telan).

Ketiga, nganggur dalam arti punya ijazah sarjana, tetapi kerjanya sebagai petani. Orang Manggarai yang sinis bilang: “Keba bon sekolah mese” (artinya, percuma sekolah tinggi). Sebuah pantun tradisional ini menggambarkan sinisme tersebut: “Tendang bola melambung tinggi, bola jatuh ke pinggang Nona. Biar Nona sekolah tinggi, pulang ke rumah duduk di dapur.” (Pantun ini saya dengar sendiri pada tahun 1997, dari orang-orang yang ada di Pulau Pemanah, sebuah Pulau dekat Pulau Babi di depan Maumere.)  Wah, apa betul  ada  sarjana ‘keba bon’ (artinya: sarjana percuma)?

Keempat, nganggur dalam pegertian tamat sarjana tidak jadi PNS. Mimpi banyak orang Manggarai, kalau anaknya sarjana, dia bisa jadi pegawai negeri sipil (PNS) nantinya. PNS menjadi sesuatu yang membanggakan dan mengangkat martabat keluarga. Kalau sudah sarjana, tapi test masuk PNS berkali-kali gagal, jadilah sarjana nganggur. Orang Manggarai bilang: “oke bon sarjana” atau sarjana oke bon (artinya: percuma sarjana).

Kelima, nganggur dalam pengertian, setelah tamat sarjana dia bekerja di tempat yang tidak sesuai dengan ijazah kesarjanaannya, baik sebagai PNS maupun pegawai swasta. Misalnya, Ijazahnya  sarjana perhotelan, tapi kerjanya sebagai kepala proyek jalan dan bangunan. Atau yang banyak terjadi, walau belum sarjana, setelah tamat SMK pertanian di sebuah sekolah di Manggarai Timur, kerjanya sebagai tukang bengkel motor atau penjaga toko. Tidak bekerja sesuai ilmunya dan hasilnya banyak sarjana seperti ini yang hanya duduk di belakang meja tidak tahu mau buat apa. Nganggur juga kan namanya. Orang Manggarai bilang, sarjana ‘lonto bon’ (artinya: sarjana duduk-duduk percuma). ‘The right man on the wrong place’ pepatah kerennya.

Lima persepsi nganggur di atas menghasilkan lima jenis sarjana nganggur atau lebih tepat dikatakan lima jenis pengangguran sarjana, yakni: sarjana ‘lonto acu’, sarjana ‘motang lonto’, sarjana ‘keba bon’, sarjana ‘oke bon’ dan sarjana ‘lonto bon’.

Mengapa saya tandaskan  lebih tepat dikatakan telah terjadi lima jenis ‘pengangguran sarjana’?? Hal ini mau mendorong pertanyaan lanjut: Lantas, siapa yang salah di sini? Salah siapa? Orang yang tamat sarjana kah? Ataukah pendidikannya yang salah, karena tidak ‘nyambung’ dengan dunia kerja, tidak siap kerja? Ataukah pemerintah hanya tahu mendirikan sekolah dengan biaya yang besar tapi out putnya tidak diarahkan mau kerja apa setelah tamat??

Dengar-dengar di Manggarai Timur dan Manggarai Barat,  juga di daerah lain di NTT ada euforia rencana mendirikan Perguruan Tinggi. Wah, sebuah prestise untuk Kepala Dinas Pendidikan dan tentu juga Bupatinya keciprat harumnya. Tetapi, apakah itu artinya akan menambah satu lagi  lembaga pemerintah yang akan mencetak sarjana nganggur dan menyebabkan pengangguran sarjana?

Bagaimana menyikapi hal ini? Mungkin ada yang punya solusi?

Di sini saya juga masih bingung. Tapi saya menemukan ‘benang merahnya’: “Jangan membangun monumen selagi masih hidup, nanti susah waktu matinya”, mengutip kata-kata Pater Beek SJ, “tetapi berbuatlah yang baik karena itu baik. Titik.” Ketika ijazah sarjana dianggap sebagai prasasti penuh prestise dan mendirikan sekolah tinggi sebagai monumen kejayaan, di situlah akar munculnya sarjana nganggur dan pengangguran sarjana pun semakin banyak.

Sebuah adagium Latin berujar: “Non scholae, sed vitae”, artinya: “Kita belajar bukan untuk sekolah, melainkan untuk hidup.”  Jadi, ada semacam link and match (keterpautan dan keterpaduan) antara dunia sekolah dengan dunia kehidupan nyata.

Kita sekolah bukan sekadar dapat ijazah sarjana, tetapi supaya kita pintar dan cerdas secara teoritis (menjadi insan intelektual pencinta kebenaran), cerdas secara praktis (menjadi insan yang relaistis, membumi, tidak lupa mendarat setelah terbang tinggi, punya landasan berpijak), dan cerdas secara  pragmatis (insan produktif, tahu menyiasati dunia dan kehidupan dengan efektif dan memberi hasil guna nyata).

Orang yang cerdas saja yang bisa bertahan hidup saat ini karena di dalam dirinya ada optimisme, daya juang, siasat dan kreativitas, dan keberanian untuk berpikir dan bertindak beda (dalam artian positif).  Orang-orang cerdas seperti inilah yang bakal sukses di era pembangunan milenial di dunia digital saat ini dengan mendorong dan mengedepankan apa yang disebut “pembangunan ekonomi Kreatif”.

Penegasan: Kecerdasan ini hanya didapat di sekolah sampai sarjana. Bukan putus di tengah jalan.  Maka, seharusnya tidak ada sarjana yang nganggur kalau mereka benar-benar sudah cerdas.

Tetapi kalau ada nyatanya sarjana nganggur, itu berarti sarjana itu tidak cerdas, bodoh.

Pengangguran sarjana pun bisa saja terjadi karena perguruan tinggi dan dunia pendidikan salah urus dan salah didik sehingga menghasilkan manusia-manusia yang tidak cerdas.

Penulis

Yon Lesek

Editor: Elnoy


Berita Terkait

Komentar