Indonesia Adalah Soekarno
Soekarno [Foto: Screenshoot Dakwatuna.com/Aven]
Oleh: Mario Louis Nggai
Pengalaman perjuangan yang haus akan kemerdekaan menjadi titik balik bagi masyarakat global untuk memutuskan nasibnya sendiri.
Kisah perjuangan bangsa-bangsa tertindas dalam era imperialismedan kolonialisme menumbuhkan kesadaranhumanis sekaligus estetis. Kenyataan pahit mengikat orang-orang untuk bersatu dan mendiskreditkan semangat imperialismesebagai kejahatan komunal.
Pengalaman yang dialami sebagian besar Negara-negara Asia dan Afrika ini, juga menjadi realitas pilu dalam sejarah bumi nusantara ini. Kebangkitan bangsa-bangsa menjadi awal kemunculan perjuangan hak-hak kemanusiaan. Ke-indonesia-an dimulai sejak Soekarno mengumandangkan sajak-sajak kemerdekaan.
Dengan itu, dunia menyambut lahirnya sebuah bangsa besar dengan nilai-nilai kemajemukkannya. Bersama pancasila, Soekarno sukses memperkenalkan diri dikancah internasional sebagai pribadi dan bangsa yang besar.
Kemudian, proklamasi menjadi puncak dari perjuangan seluruh rakyat yang kedaerahan. Sejak saat itu, bangsa indonesia dengan segala kerapuhannya bangkit dan hidup hingga saat ini.
Kisah perjuangan Soekarno sebagai Bapak proklamator tentu telah menjadi catatan sejarah dalam begitu banyak literatur. Oleh sebab itu, tulisan ini tidak untuk membuka kembali album kenangan kemerdekaan.
Literatur-literatur yang sudah ada, cukup untuk mendeskripsikan semangat nasionalisme dan patriotisme Soekarno dan rekan-rekan seindonesia pada masa itu. Tulisan ini hanya serupa catatan refleksi historis interpretative atas dimensi kepribadian Adam-nya Indonesia tersebut.
Soekarno: Sang Pemikir Idealis dan Orator Kontroversial
Sebagai pemimpin bangsa, seseorang dituntut untuk dapat merealisasikan kehendak dan harapan banyak orang. Sekian banyak kehendak dan harapan banyak orang secara otomatis memaksakan kehendak idealis bagi para pemimpinnya.
Hal serupa juga menjadi perjuangan Soekarno. Kegigihannya yang paling nyata adalah kehendak bebas untuk mendeklarasikan hakekat kehidupan masyarakat negaranya.
Soekarno seakan menjadi figure yang fenomenal ketika menampilkan diri sebagai pemimpin Negara ini. Bahkan sebelum kemerdekaan tersebut diraihnya, ia telah mengumandangkan kebebasan lewat “Indonesia Menggugat”nya.
Prinsip merhaenisme ditempelken pada pribadi pejuang hak-hak kemanusiaan tersebut. Tidak hanya Indonesia, banyak Negara lain yang juga turut merasakan perjuangan Soekarno. Jiwa altruistik yang melekat dalam dirinya menjadikanya sebagai pribadi yang socialis.
Tidak mengherankan bila sikap antipati terhadap paham imperialisme dan kapitalisme, membantunya mencetuskan Ganefo (Games of The New Emerging Forces) pada akhir tahun 1962.
Tentu tidak hanya menjadi catatan sejarah bangsa Indonesia namun juga sejarah dunia bahwa ide gagasan pesta olahraga ini dilahirkan untuk menandingi gerakan Olimpiade yang dinilainya terlalu didominasi negara-negara imperialis. Hal ini menjadi jelas ketika negara-negara yang digolongkan sebagai negara imperialis tidak disertakan dalam kegiatan ini.
Idealis radikal yang dipertontonkan Soekarno diikuti dengan keberanian untuk mengimplementasikannya. Selain mengguncang Negara kapitalis lewat Ganefo-nya, ia juga berjuang untuk meruntuhkan dikotomi antar bangsa-bangsa.
Poin ini tergambar jelas melalui kebijakan politiknya untuk membangun kerjasama tidak hanya dengan Negara Liberal tetapi juga dengan Negara berhaluan komunis, yakni Rusia dan Kuba.Lewat pidato-pidatonya yang kontroversial, ia menjadi pembangkang dalam organisasi PBB. Semangat untuk mengganyang Malaysia dan merebut Irian barat menjadi fakta empirik dari idealisme radikalnya.
Soekarno, Demokrasi dan Diferensiasi
“Vox Populi, Vox Dei”. Slogan klasik di samping bukan hanya kumpulan kata-kata reflektif para filsuf Romawi. Dengan kata-kata tersebut, membenarkan sistem yang lahir di Yunani dan kemudian disebut dengan Demokrasi. Kekuasaan merupakan milik rakyat, dan kekuasaan bertujuan untuk melayani rakyat.
Gambaran-gambaran definitif tentang demokrasi pada akhirnya menempatkan rakyat sebagai subjek dari pemerintahan itu sendiri. Komposisi rakyat yang dinamis dan variatif (pluralistik), menjadikan rakyat sebagai representasi dari sesuatu yang tidak terbatas, yang Ilahi dan intransenden.
Paham inilah menempatkan Soekarno sebagai pahlawan demokrasi di era modern. Semangat kemerdekaan memberi ruang bagi Soekarno menanamkan sistem demokrasi di era pemerintahannya. Bagi Soekarno, rakyat adalah segala-galanya. Hanya “Suatu” yang tidak kelihatan yang lebih tinggi dari rakyat.
“Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan seorang presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan rakyat. Dan diatas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.”
Pemaknaan demokrasi ala Soekarno juga melampaui keadaan demokratis pada umumnya. Tidak mengherankan bila Soekarno meruntuhkan demokrasi Konstituante dan menggantikannya dengan demokrasi terpimpin.
Melalui kebijakan ini, Soekarno menanamkan sistem demokrasi dengan apa yang disebut Laclau-Mouffe sebagai demokrasi radikal. Bagi Soekarno demokrasi liberal tidak mampu mencegah hegemoni nilai kapitalis terhadap nilai-nilai lain dalam masyarakat.
Kapitalisme sudah menjadi sebuah narasi besar yang menindas nilai-nilai sosial dalam masyarakat modern, dampaknya demokrasi liberal mengabaikan hak-hak kelompok particular, seperti identitas adat, kearifan lokal, hak minoritas, hak agama dan hak budaya.
“Oleh sebab itu, janganlah bermalas-malasan hai pemuda, berbuatlah! Lakukan sesuatu yang baik bagi negaramu! Jangan kau turuti imperialisme dan kapitalisme barat! Ingatlah Pancasila, ideologi yang merasuk ke dalam hati kita bangsa Indonesia! Dia lah cita-cita bangsa! Isilah kemerdekaan yang masih kosong ini”.
Melalui demokrasinya, Soekarno Berjuang untuk Membangun Negara Tanpa Batas-batas
“Aku heran, apakah orang lupa bahwa perjuangan kita ini pada mulanya ialah menjunjung seluruh tanah air dari lembah lumpurnya tanah air? Kemerdekaan harus meliputi seluruh rakyat, karena itulah diformalisasikan pancasila, pemersatu seluruh rakyat”. (Pidato, HUT RI ke 10 pada tahun 1955).
Pandangan-pandangan Soekarno juga mengidentifikasi dirinya sebagai pahlawan pluralisme. Baginya perbedaan merupakan kekayaan. Meruntuhkan dinding-dinding pemisah menjadi jalan menuju Persatuan Indonesia.
Kenyataan ini semakin jelas dalam kebijakan politik Nasakom-nya (Nasionalisme, Agama, Komunisme). Penempatan komunisme sebagai salah satu pilar politiknya tidak berarti bahwa Soekarno telah kehilangan jatidirinya sebagai orang beragama.
Bagi Soekarno, paham komunisme yang lahir dari pemikiran Marx tersebut merupakan jalan untuk membangun masyarakat sosialis dan dunia tanpa batas. Dengan demikian, jelas bahwa di satu sisi Soekarno menghendaki kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat dan di sisi yang lain, Soekarno berjuang untuk mengeliminasi kekuatan politik liberal yang dapat melahirkan semangat imperialisme dan kapitalisme.
Meskipun demikian, polemik politik masa kepemimpinan Soekarno masih bergema dan menjadi wacana diskursus hingga saat ini. Kebijakan-kebijakannya menjadi ambigu dan dinilai para pakar sebagai boomerang terhadap kepemimpinannya sendiri.
Tak terbantahkan lagi bila demokrasi terpimpin yang dicetuskannya mengindikasikan hasrat haus kekuasaan dalam dirinya. Dan lebih dari itu, mau menunjukkan bahwa komunisme tidak dapat berbarengan dengan agama.
Soekarno dan Romantisisme
Selain karakternya yang keras (tegas)dan prinsipil, Soekarno juga memiliki sisi romantisismenya. (Paham romantisisme merupakan sebuah bentuk perlawanan terhadap rasionalisme renaisance.
Gagasan ini menekankan emosi yang kuat sebagai sumber dari pengalaman estetika, memberikan tekanan baru terhadap emosi. Melalui romantisme, citra politik dibahasakan secara estetis untuk mencapai nilai-nilai yang lebih sakral.)
Secara faktual identifikasi Soekarno dalam paham ini dapat dilihat melalui kecintaannya pada bidang kesenian. Dalam banyak literature, sejarah mencatat bahwa Soekarno merupakan kolektor lukisan-lukisan dan patung-patung.
Ia juga pencinta puisi dan drama. Kesenian dipandang Soekarno sebagai suatu bentuk kemerdekaan individual. Kecintaannya pada kesenian juga turut mempengaruhi pandangan politisnya lewat ungkapan-ungkapan picisannya.
“Laki-laki dan perempuan adalah sebagai dua sayapnya seekor burung. Jika dua sayap sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai ke puncak yang setinggi-tingginya; jika patah satu dari pada dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang burung itu sama sekali.” Soekarno menempatkan rakyat tanpa batas-batas. Baginya rakyat adalah sama dan sederajat.
Pengkotak-kotakkan masyarakat dalam label-label tertentu mengikis nilai diferensial dalam bangsa yang majemuk. Pada titik ini, kesamaan gender menjadi perjuangan Soekarno di tengah budaya patriarkat Indonesia dan kelas-kelas sosial yang ada dalam masyarakat. Tidak mengherankan bila melalui karyanya yang berjudulNasionalisme, islamisme dan Marxisme,Soekarno mendapat predikat sebagai seorang sosialis.
Selain itu, kegemilannya merangkai kata dengan kekuatan jiwanya yang berkharisma membuat majalah Timemenyebutnya dengan ‘Putra Sang Fajar’. Tentu bukan suatu kebetulan julukan yang diberikan kepadanya.
Seni berpidato merupakan kelihaiannya dalam membangun opini dan mempengaruhi banyak orang. Pidato-pidatonya yang mencerminkan idealis radikalnya menjadikannya sebagai orator kontroversial.
Tidak hanya itu, kompatriotnya Moh.Hatta menggambarkan Soekarno sebagai berikut, “Cara termudah untuk melukiskan tentang diri Soekarno adalah dengan menamainya seorang mahapencinta. Dia mencintai negrinya, dia mencintai rakyatnya, dia mencintai seni, dan melebihi segalanya, dia mencintai kepada dirinya sendiri”.
Penggamblangan Soekarno dalam term “mahapencinta” tentu bukan sebuah asalan yang berasal dari Hatta. Pemaknaan akan cinta menggiring Soekarno pada sebuah totalitas. Soekarno total pada semua yang ia perjuangkan. Ia memberikan diri dan seluruh yang ada padanya bagi apa yang diyakininya.
Demikian pula Pancasila. Moment kelahiran Pancasila menjadi simbol sisi romantisisme Soekarno yang lain. Pancasila tidak hadir dengan sendirinya. Banyak orang berpandangan bahwa pancasila muncul dari refleksi yang mendalam dari Soekarno.
Jadi janganlah heran, bila kharismanya lahir dari jiwa reflektif yang ada dalam dirinya. Kekuatan kata-kata yang ada padanya menjadi simbol personifikasi baginya untuk membakar semangat orang-orang terinjak. Demikian tepatlah bila Soekarno membenarkan pandangan Hitler, “Besarlah seseorang yang mampu menggerakkan massa untuk bertindak”.
“Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, berikan aku 100 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”
Soekarno Dan Pancasila
Pancasila menjadi satu karya aktual Soekarno yang akan terus berdampingan dengan indonesia. Pansila menjadi cermin kepribadian Soekarno atas semua pembahasan yang telah diuraikan diatas. Pancasila menjadi corong dan muara kepribadian Soekarno yang idealis, humanis, sosialis dan romantis.
Rumusan pancasila telah menjadi Dasar dan falsafah kebangsaan. Pancasila menjadi simbol kebangsaan yang pluralistik dan majemuk. Maka bukan suatu kebetulan bila Bhineka tunggal Ika menjadi slogan kebangsaan yang relevan.
Bangsa indonesia tidak berdiri atas satu suku bangsa ataupun golongan dan juga agama. Indonesia tumbuh dari perbedaan dan keberagaman. Indonesia hidup dari/atas kehendak Sang Khalik yang satu, untuk membangun kemanusiaan yang adil dan beradab dan tercapainya persatuan indonesia, melalui musyawarah dan dialog yang bijaksana untuk mencapai satu mufakat yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Soekarno adalah pancasila. Pancasila adalah kita.
Soekarno dan Relevansitas Perjuangan Bangsa
Meskipun telah menjadi bangsa yang merdeka, eksistensi bangsa tercinta kita ini tetap berada dalam dirinya sendiri. Itulah hakekat proses. Eksistensi sebuah Negara tidak dibatasi dalam waktu.
Demikian jelas bahwa kemerdekaan sesungguhnya adalah berjuang melawan diri sendiri. “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”
Bangsa ini mungkin tidak akan pernah dijajah lagi oleh bangsa lain, tapi sesungguhnya bangsa yang besar ini sedang dijajah oleh dirinya sendiri. Kemelut ekonomi politik, badai radikalisme dan ekstrimisme, jauhnya jarak yang miskin dan yang kaya dan berbagai realitas sosial lainnya seakan menjadi suatu sinisme bagi bangsa perjuang yang lahir dari semangat sosialisme.
Bukan sebuah keniscayaan, bahwasannya keadaan saat ini dapat mendeskripsikan fenomena kapitalisme dan imperialisme modern.
Kenyataan nihil nya figure pemersatu bangsa sangat nampak. Lahirnya kelompok-kelompok politik dan lainnya semakin menyusutkan narasi demokrasi. Maka tidak salah bila Soekarno mengkonstruksi demokrasi terpimpin yang kemudian dijalankan Soeharto lewat orde barunya.
Akhirnya, perjuangan kemerdekaan takkan pernah usai selama bangsa ini masih bernafas. Korupsi, berbagai bentuk ketidakadilan, dan fenomena kepincangan sosial lainnya harus terus diperjuangkan untuk mencapai hakikat kemerdekaan seperti yang dicita-citakan Soekarno. Maka tidak berlebihan bila penulis mengatakan bahwa Indonesia adalah Soekarno.