Ende(h) Dalam Memori Soekarno dan Bingkai Sejarah Lahirnya Pancasila

Kamis, 01 Juni 2017 | 21:11 WIB
Share Tweet Share

Soekarno dengan Pater Bouma SVD dan Pater Huytink SVD [foto: dokumen SVD]

Oleh: Giorgio Babo Moggi*

Rakyat Indonesia pantas mengapresiasikan dan mengucapkan terima kasih kepada bapak Presiden Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo, yang menetapkan tanggal 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila  dan menjadi salah satu hari libur nasional. Keputusan ini ditetapkan pada tanggal 1 Juni 2016 di Bandung, bertetapan dengan peringatan Pidato Bung Karno 1 Juni 1945.

"Maka, dengan mengucap syukur kepada Allah dan bismillah, dengan keputusan presiden, tanggal 1 Juni ditetapkan untuk diliburkan dan diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila," kata Jokowi disambut tepuk tangan para hadirin (Kompas, Rabu, 1/6/2016).

Arti Penting 1 Juni sebagai Hari Libur Nasional

Keputusan yang diambil oleh presiden Joko Widodo merupakan peristiwa bersejarah bagi bangsa Indonesia. Kebijakan yang mungkin tak terpikirkan atau terpikirkan tapi tidak sempat dilaksanakan oleh para pendahulunya. Soekarno sebagai pencetus atau penggagas Pancasila pun tak melakukannya. Maka kehadiran Jokowi sebagai presiden memiliki arti penting perjalanan bangsa ini sepanjang 71 tahun – yang sebentar lagi akan memasuki usia ke-72. Langkah politik Jokowi ini sangat stretegis, politis dan historis.

Inilah bentuk apresiasi Jokowi kepada founder fathers atas perjuangan mereka sehingga memilih dan bersepakat menetapkan Pancasila sebagai ideologi dan dasar falsafah negara.

Langkah ini sebagai salah satu cara untuk mengeliminasi kekhawatiran kita akan pudarnya nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.  Merosotnya jiwa patrioisme di kalangan generasi muda penerus bangsa. Terancamnya disintegrasi bangsa yang semakin nyata di depan kita. Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam bayang-bayang keruntuhan.

Contoh yang paling nyata adalah adanya gerakan-gerakan anti Pancasila yang merebak di beberapa tempat di negeri ini. Bersamaan itu pula bermunculan berbagai aliran atau paham  yang berbasis agama yang semakin berani dan terang-terangan kontra dengan ideologi Pancasila. Sehingga seruan untuk memasyarakatan butir-butir Pancasila kembali digaungkan. Dengan merayakan Hari Lahir Pancasila ini secara nasional sebagai momentum untuk mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila yang perlahan-lahan terlupakan dan tenggelam karena arus modernisasi.

Ende sebagai Rahim Pancasila

Sejarah tak dapat dipungkiri bahwa Pancasila lahir di Ende, Flores, NTT. Pancasila merupakan hasil refleksi atau permenungan Ir. Soekarno dalam masa pembuanganya yang puncaknya itu terjadi di Ende. Tak heran bila muncul berbagai jargon atau sebutan yang menyematkan kata Ende seperti Ende Kota Pancasila, Ende Rahim Pancasila, Tidak Ada Ende Tidak Ada Pancasila dan masih banyak macam sebutan atau ungkapan.

Pernyataan-pernyataan tersebut sah-sah saja. Paling tidak hal tersebut menggambarkan ekspresi patriotik kita. Bahwa seluruh rakyat Indonesia dari pelosok manapun memiliki kontribusi yang sama besar dalam pencapaian kemerdekaan bangsa Indonesia.

Akan pencapaian bersejarah ini, kita tidak dapat mengabaikan begitu saja sejarah pembuangan Soekarno di Ende.  Di satu sisi, membuang Soekarno di Ende merupakan langkah politik penjajah yang paling menyakitkan bagi bangsa dan Soekarno sendiri.

Namun, di sisi lain, sebagai pribadi beriman, kita yakin semua yang terjadi pada Soekarno – terutama pembuangannya di Ende – merupakan kehendak Tuhan. Kita bisa membayangkan seandainya Soekarno tidak dikucilkan di Ende, apakah kita akan memiliki Pancasila?

Begitupun pertanyaan lain menyeruak. Seandainya Soekarno tidak dibuang ke Bengkulu dan Sukasmiskin, akankah Soerkarno sampai di Ende?

Masih banyak pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan yang sulit kita jawab. Pula kita tidak bisa mengandai-andaikan jawabannya. Fakta bahwa segala sesuatu telah terjadi. Soekarno pernah diekskomunikasikan ke Bengkulu, Sukamiskin, dan Ende.

Selama masa pembuangan, Soekarno bergumul dalam ‘proses kristalisasi nilai-nilai Pancasila’ setelah berinteraksi dengan masyarakat jelata. Namun demikian, Ende, tempat yang paling terbelakang jika dibandingkan beberapa tempat pembuangan yang lain. Hal ini terbaca dari keluhan istrinya, Inggit, kepada Soekarno.

Kenapa, ya? Kenapa di sini? Kenapa dipilih  Flores?”

Sebagai istri, Inggit yang mengikuti pada setiap jejak pembuangan Soekarno sudah bisa membedakan antara tempat yang satu dengan tempat yang lain. Pertanyaanya dijawab dengan kasatria oleh Soekarno.

Dalam segala hal maka Ende, di Pulau Bunga yang terpencil itu, bagiku menjadi ujung dunia. Pulau Muting, Banda atau tempat yang jelek seperti itu, ke tempat-tempat mana rakyat kita diasingkan, tidak akan lebih baik daripada ini” (Adams, 1966: 171 dalam Tule, 2017).

Soekarno menulis  Ende(h) sebagai sebagai sebuah kampung yang masih terbelakang, penduduk berjumlah 5000 orang, berprofesi sebagai petani dan nelayan, sebagaimana dalam catatannya berikut ini.

ENDEH, sebuah kampung nelayan telah dipilih sebagai penjara terbuka untukku yang ditentukan oleh Gubernur Jenderal sebagai tempat di mana aku akan menghabiskan sisa umurku. Kampung ini mempunyai penduduk sebanyak 5000 kepala. Keadaan masih terbelakang. Mereka jadi nelayan, petani kelapa, petani biasa. Hingga sekarang pun kota itu masih ketinggalan. Ia baru dapat dicapai dengan jip selama delapan jam perjalanan dari kota yang terdekat. Jalan rayanya adalah sebuah jalanan yang tidak diaspal, ditebas melalui hutan. Di musim hujan lumpurnya menjadi bungkah-bungkah....... Ia tidak mempunyai tilpon, tidak punya telegrap, tidak ada listrik, tidak ada air-leding. Kalau hendak mandi kau membawa sabun ke Wolo Wona, sebuah sungai dengan airnya yang dingin dan di tengah-tengahnya berbingkah-bingkah batu” (Adams, 1966: 170 dalam Tule, 2017).

Soekarno mulai merefleksi dan bekerja sama dengan orang kecil. Sejak di Jawa, ia memang sudah diasingkan dari orang-orang terpelajar yang juga sering  berkolusi dengan penjajah. Soerkano pun berkeluh kesah:

Baiklah kini aku akan bekerja tanpa bantuan orang-orang terpelajar yang tolol itu. Aku akan mendekati rakyat jelata yang paling rendah. Rakyat-rakyat yang terlalu sederhana untuk bisa memikirkan soal politik. Rakyat yang tak dapat menulis dan yang merasa dirinya tidak kehilangan apa-apa. Maka aku bersahabat dengan KOTA, seorang nelayan dan DARHAM si penjahit” (Adams, 1966: 174 dalam Tule, 2017)

Bersahabat dengan Misionaris Hingga Kagum Kotbah di Atas Bukit

Di pembuangan atau penjara, selain bersahabat dengan orang-orang kecil atau orang-orang pinggiran, Soekarno bersahabat pula dengan para misionaris Katolik.  

Di penjara Sukamiskin, ia bersahabat dengan  Pastor Van Lith, S.J. Di Ende, Soekarno bersahabat dengan para imam SVD  (Societas Verbi Divini), antara lain Pastor Bouma dan Pastor Huytink. Mereka berdiskusi berbagai hal, khususnya tentang keutamaan azas Ketuhanan Yang Maha Esa. Persahabatannya dengan para misionaris, Soekarno belajar banyak hal dari pada sahabatnya itu.

Mulai dari diskusi, dialog, hingga membaca Kitab Suci baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Satu perikop yang menarik dan dikaguminya adalah  Kotbah Yesus di Atas Bukit.

Aku terutama menaruh perhatian pada Kotbah diatas Bukit. Inspirasi Yesus menyemangati orang-orang syahid yang mula-mula, karena itu mereka berjalan menuju kematiannya sambil menyanyikan Zabur pujian untukNya, karena mereka tahu bahwa kami meninggalkan kerajaan ini, akan tetapi kami akan memasuki Kerajaan Tuhan. Aku berpegang teguh pada itu. Aku membaca dan membaca kembali Injil. Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tidak asing lagi bagiku” (Adams, 1966: 152 dalam Tule, 2017).

Politik Universalisme

Pancasila yang direnungkan Soekarno di Ende, Bengkulu dan Jakarta sesungguhnya telah menyiratkan konsep ‘pengakuan akan perbedaan dan kesederajatan'.

Keragaman budaya, ras dan agama merupakan realitas dan kompleksitas dalam kehidupan. Pengalaman hidup dalam masa pembuangan di Ende, pada akhirnya ia memberikan kesaksian hidup yang menentukan bagi perjalanan bangsa ini.

Di Sukamiskin ataupun di Bengkulu, Soekarno berjumpa dengan kelompok yang masih seiman (Islam) yang berbeda suku, budaya, dan bahasa. Di Ende, pengalaman diperkaya oleh adanya fakta atau realitas masyarakat yang lebih heterogen baik ras maupun agama.

Soekarno mengalami langsung di tengah keberagaman itu. Ia hidup, dialog dan berbaur dengan masyarakat pelbagai suku dan agama (Islam dan Katolik) serta masyarakat jelata.

Ia bergaul dengan Kota, seorang nelayan, Darham, sang petani ulung, Bouma dan Huytink misionaris Katolik,  sang Kiyai dari Hadramaut, saudagar keturunan Tionghoa serta rakyat kecil di sekitaran  Kali Wolowona.

Pengalaman hidup yang nyata ini melahirkan konsep multikulturalisme dan multireligiositas. Ini terjadi pada masa pembuangan di Ende. Konsep ini mengedepakan politik universalisme yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia yang sama tanpa dikotomi  mayoritas - minoritas, lelaki-wanita, warga kelas atas-warga kelas bawah, Kristen-Islam, atau Flores-Jawa.   

Baginya, kesederajatan dalam perbedaan dan  keanekaragaman merupakan nilai humanisme yang universal. Nilai-nilai ini dapat mempersatukan dan menjamin kelanggengan NKRI berdasarkan ideologi atau falsafah Pancasila (Bdk. Mutis, dkk., 2005: 228 – 229 dalam Tule, 2017).

Revitalisasi dan Reinternalisasi Nilai-Nilai Pancasila

Ende tak terpisahkan dengan sejarah bangsa. Karena di sinilah puncak permenungan Soekarno terjadi hingga ditemukan Pancasila. Maka Hari Lahir Pancasila memiliki makna historis – mengenang masa perjuangan Soekarno, juga menjadi pijakan atau dasar kita untuk menatap masa depan.

Soekarno pernah berujar, “Kita butuh revitalisasi dan reinternalisasi nilai-nilai Pancasila di masyarakat, agama, dan budaya Indonesia yang berbhineka”.

Ujaran Soekarno ini wajib dicermati, direnungkan dan dilaksanakan   dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Karena penetapan Pancasila sebagai idelogi tunggal bangsa Indonesia merupakan keputusan para pendiri bangsa yang sudah final-mengikat demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Selamat merayakan Hari Lahir Pancasila. Merdeka!!!

* Penulis adalah Kolumnis di berbagai media.

Editor: Aven


Berita Terkait

Opini

Untuk NTT, Jangan Asal Pilih Pemimpin

Jumat, 05 Mei 2017
Opini

Indonesia Adalah Soekarno

Jumat, 02 Juni 2017

Komentar