Tunggu Bukti Baru Ngaku: "OLO TIMPOK ITU PO IDE"
Sumber animasi: https://1.bp.blogspot.com
"Olo timpok itu po ide". Ungkapan dalam bahasa Manggarai, Flores, NTT ini secara harfiah berarti 'ketidakjujuran'.
***
Ungkapan ini sering saya dengar keluar dari mulut alm. Romo Sakarias Juhadun ketika saya bersamanya di Paroki Kumba.
Beliau mengatakan hal ini untuk melukiskan realitas "budaya tertangkap basah" atau sekarang lebih dikenal dengan istilah tertangkap tangan, yang sedang bertumbuh dalam masyarakat kala itu.
Beliau menangkap sejumlah fenomena atau perubahan perilaku dalam masyarakat. 'Rasa bersalah' dalam ruang hukum internum yakni hati nurani perlahan terkikis dan menghilang. Orang tidak lagi peduli bisikan suara hatinya.
Sebaliknya, orang lebih takut pada keputusan hakim yang menyatakan dirinya bersalah. Dalam konteks kini, orang lebih takut pada KPK, yang melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT).
Kesalahan bukan lagi berkaitan langsung dengan pelanggaran atas norma atau nilai melainkan berkaitan dengan hal eksternal, yakni adanya bukti dan saksi mata suatu tindakan pelanggaran hukum.
Orang baru mengakui dirinya bersalah kalau diketahui oleh orang lain atau tertangkap tangan sedang melakukan suatu perbuatan melanggar hukum.
Orang baru mengakui dirinya adalah koruptor kalau dipergok sedang melakukan transaksi dalam OTT.
'Budaya tertangkap tangan' atau dalam ungkapan bahasa Manggarai 'olo timpok itu po ide' ini disinyalir berkembang seiring dengan merosotnya penghargaan terhadap nilai kejujuran.
Orang sepertinya tidak lagi takut menanggung risiko yang 'memalukan' diri dan keluarga.
Risiko dipergok dalam OTT, sesungguhnya jauh lebih besar daripada mengakui secara jujur kesalahan yang telah dilakukan.
Namun dalam kenyataan, orang lebih memilih dipermalukan di ruang publik daripada terbuka secara jujur dalam ruang privasi.
Orang tentu punya alasan memilih pilihan yang kita anggap paling berat dan berbahaya. Kita bisa menganggapnya aneh, namun di baliknya tentu ada banyak faktor dan alasan yang memaksa mereka untuk melakukannya.
Kita sederhanakan saja alasa-alasan tersebut dengan istilah kebutuhan. Jenis kebutuhan bermacam-macam. Bentuk pelanggaran hukum pun beraneka.
Untuk mereka yang jenis kebutuhannya banyak, dituntut status dan gaya hidup, cenderung dorongan untuk memenuhi semua kebutuhan itu sangatlah tinggi.
Pilihan-pilihan pun semakin berani dan menerobos perbuatan hukum yang berisiko mencelakan hidup.
Status dan gaya hidup yang ditawarkan zaman ini sungguh menantang dan menggoda anak-anak zaman untuk meninggalkan nilai kesederhanaan dan kejujuran. Jebakan zaman telah melumpuhkan nurani kita.
Dalam konteks budaya tertangkap tangan ini, kita tentu tidak bisa mengandalkan kejujuran pribadi. Peran-peran seperti yang dimainkan KPK semakin urgen dan menjawabi konteks perubahan terkini.
Pada titik akhirnya adalah pengakuan. Pengakuan bisa saja muncul karena kesadaran diri bersalah dan mau berbenah diri dan terbuka. Ini momen puncak yang lahir dari khalwat yang tulus dan rendah hati dalam bahasa spiritual.
Tetapi, juga bisa saja, berkeras hati, akhirnya mengurung diri dalam jeruji penjara (fisik maupun psikis) karena terbukti bersalah dengan alat bukti yang cukup dan terkuak.
Semoga jangan ada dusta di antara kita agar jalan terbaik yang diambil demi kepentingan yang lebih besar.