Ini Empat Penyebab Korupsi Dana Desa
Ilustrasi dana desa. [Istimewa]
[JAKARTA] Dana Desa rawan dikorupsi. Mengapa?
Menurut peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayoga, ada empat penyebab korupsi dana desa yang marak terjadi sekarang ini.
Faktor penyebab utama adalah pelibatan masyarakat yang kurang dalam proses perencanaan dan pengawasan dana desa.
"Akses masyarakat untuk mendapatkan informasi pengelolaan dana desa dan terlibat aktif dalam perencanaan dan pengelolaan dalam praktiknya dibatasi," ujar Egi di Jakarta, Senin (21/8).
Padahal, kata Egi, dalam Pasal 68 UU Desa telah mengatur hak dan kewajiban masyarakat desa untuk mendapatkan akses dan dilibatkan dalam pembangunan desa.
Menurut dia, pelibatan masyarakat desa menjadi faktor paling dasar karena masyarakat desalah yang paling tahu kebutuhannya dan secara langsung menyaksikan bagaimana pembangunan di desa.
Faktor kedua adalah terbatasnya kompetensi kepala desa dan perangkat desa. Keterbatasan ini khususnya mengenai teknis pengelolaan dana desa, pengadaan barang dan jasa serta penyusunan pertanggungjawaban keuangan desa.
Faktor ketiga, tidak optimalnya peran lembaga-lembaga desa baik langsung maupun tidak langsung. Lembaga-lembaga desa, kata dia, tidak memainkan peran penting dalam pemberdayaan masyarakat dan demokrasi tingkat desa, seperti Badan Permusyawaratan Desa atau BPD.
Faktor keempat yang tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah penyakit biaya politik tinggi akibat kompetitifnya arena pemilihan kepala desa.
“Meningkatnya anggaran desa diserta dengan meningkatnya minat banyak pihak untuk maju dalam pemilihan kepala desa tanpa agenda dan komitmen membangun desa," terang dia.
Rugi Rp 30 Miliar
ICW juga telah melakukan pemantauan terhadap pengelolaan dana desa sejak tahun 2016 sampai Agustus 2017.
Pemantauan ini dilakukan terhadap pemberitaan media, laporan masyarakat, dan dokumen resmi dari Kementerian dan Lembaga terkait.
Dari hasil pemantauan tersebut, ditemukan korupsi anggaran desa telah merugikan negara sebesar Rp 30 miliar selama periode 2016-2017.
Meskipun anggaran desa yang dikorupsi bukan hanya dana desa (dari APBN), termasuk juga Alokasi Dana Desa (ADD) yang berasal dari APBD.
"Kita menemukan 110 kasus korupsi anggaran desa yang diproses oleh penegak hukum yang menimbulkan kerugian negara mencapai sedikitnya Rp. 30 miliar," kata Egi.
Dia menuturkan terjadi peningkatan jumlah kerugian korupsi dana desa pada 2017 (hingga Agustus), yakni Rp. 19,6 miliar dibandingkan tahun 2016 yang mencapai angka Rp. 10,4 miliar. Pihak yang diduga terlibat dalam 110 kasus korupsi dana desa berjumlah 139 pelaku.
"Dari segi aktor, 107 dari 139 pelaku merupakan kepala desa. Aktor lain yang terlibat adalah 30 perangkat desa dan istri kepala desa sebanyak 2 tersangka," ungkap dia.
Menurut Egi, banyaknya kepala desa yang menjadi tersangka menunjukkan bahwa banyak kepala desa yang tidak melaksanakan kewajiban kepala desa sebagaimana diatur dalam UU Desa.
Padahal, dalam Pasal 26 ayat (4) UU Desa menyebutkan bahwa kepala desa berkewajiban melaksanakan prinsip tata pemerintahan desa yang akuntabel, transparan, profesional, efektif, efisien serta bebas KNN.
"Dari pantuan ICW, teridentifikasi tujuh bentuk korupsi yang umum dilakukan pemerintah desa, yaitu penggelapan, penyalahgunaan anggaran, penyalahgunaan wewenang, pungutan liar, mark up, laporan fiktif, pemotongan anggaran dan suap," beber dia.
Lebih lanjut, dia mengatakan tujuh bentuk korupsi tersebut menunjukkan terdapat lima titik rawan korupsi dalam proses pengelolaan dana desa.
Lima titik rawan tersebut adalah pada proses perencanaan, proses pertanggungjawaban, proses monitoring dan evaluasi, proses pelaksanan dan proses pengadaan barang dan jasa dalam hal penyaluran dan pengelolaan dana desa.
"Sementara modus korupsi dana desa yang berhasil kita pantau sebanyak 12 modus," pengkas dia.