Efek Multiplier Pabrik Semen dan Tambang Matim untuk Siapa?

Kamis, 28 Mei 2020 | 21:40 WIB
Share Tweet Share

Penulis (Foto: dokpri)

Oleh: Pieter Sambut (Wartawan Senior/Penulis/Editor)

[INDONESIAKORAN.COM] Artikel pengamat ekonomi dan Sekjen Forum Masyarakat Anti Mafia Tanah, Nurkholis, yang dimuat sorotntt.com (27/5) dengan judul “Efek Multiplier Lain Dari Pabrik Semen di Matim” menarik untuk disimak. Analisisnya diawali dengan madah agung untuk raihan prestasi Pemprov NTT dan Pemda Matim yang dinilainya fantastis dan prestisius menarik investor dengan nilai investasi Rp 7 triliun. Sebab, katanya, tidak mudah menarik masuk investasi di sektor riil dengan modal sebesar itu. Wouw..... Benarkah?

Investasi senilai Rp 7 triliun untuk kawasan Nusa Tenggara Timur (NTT), khususnya Mangggarai Timur (Matim) mungkin fantatis. Walaupun investasi yang membanggakan Pemprov NTT dan Pemda Matim tersebut harus dibayar dengan nilai yang fantastik juga, 505 ha tanah masyarakat Luwuk dan Lengko Lolok harus berpindah tangan ke pihak investor. Hampir 300 kepala keluarga (KK) yang terdiri dari sekitar 1.000 jiwa harus direkolasi ke tempat lain, yang hingga saat ini belum diketahui di mana tempat relokasi itu.

Situs-situs budaya seperti compang, pekuburan dan berbagai simbol budaya seperti gendang one lingkon peang yang merupakan satu kesatuan ruang sakral dalam budaya Manggarai juga akan lenyap. Belum lagi kerusakan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya akibat aktivitas pertambangan dan kehadiran pabrik semen. Lengko Lolok dan Luwuk adalah daerah dan gunung batu kapur sebagai catch area untuk sumber air minum dan sawah di dataran Luwuk dan Satar Teu.

Bagi Pemprov NTT, Pemda Matim dan para pendukung pabrik semen dan tambang batu gamping di Luwuk dan Lengko Lolok, Lamba Leda, nilai budaya yang merupakan design for living (desain kehidupan) yang membentuk orang Manggarai dan proses relokasi ratusan KK tidak penting. Demikian juga kerusakan ekologi dan dampak ikutannya tidak menjadi pertimbangan penting. Pembangun dan perubahan membutuhkan pengorbanan, demikian alasan klasik mereka. Sayang, yang dikorbankan rakyat sendiri.

Pernyataan Nurkholis, bahwa masuknya investor semen PT Singa Merah (PMA asal Tiongkok) yang bermitra dengan PT Istindo Mitra Manggarai di Matim merupakan prestasi prestisius Pemprov NTT dan Pemda Matim barangkali terlalu bombastis, hiperbola atau dalam bahasa gaul kaum milenial disebut lebay.

Dari penelusuran yang dilakukan selama ini, ternyata tokoh-tokoh di balik PT Istindo Mitra Manggarai adalah pemain-pemain lama yang belasan atau puluhan tahun melakukan aktivitas pertambangan mangan di Serise. Mereka hanya ganti kostum dan bendera. Itu berarti, mereka sudah sangat familiar dengan daerah itu. Mereka tahu betul kandungan berbagai mineral di Luwuk, Lengko Lolok dan sekitarnya. Selain batu gamping, wilayah itu mengandung mangan. Mungkin ada mineral lain yang kita tidak ketahui, termasuk rare earth yang diburu oleh negara-negara maju untuk pengembangan teknologinya.

Pemain-pemain lama yang berganti kostum dan bendera tersebut juga hafal betul kapasitas dan mentalitas birokrat dan para elit di Matim dan NTT. Gampang “diatur.” Dengan rencana modal yang fantastis tersebut, meminjam istilah yang digunakan Nurkholis, janji kampanye, visi-misi pembangunan dan bahkan komitmen untuk menolak tambang di bumi NTT begitu mudah dilupakan.

Pemprov NTT dan Pemda Matim sebenarnya hanya berdiri paling depan untuk membentangkan karpet merah bagi pemain lama yang kini bergandengan tangan dengan perusahaan asing (PT Singa Merah) untuk melangkah di lokasi lama yang ditinggalkan begitu saja, gersang dan menganga. Apakah ini yang disebut prestasi yang fantastik dan prestisius Pemprov NTT dan Pemda Matim? Bukankah mereka datang sendiri, karena sudah tahu “jalan” masuknya? Bukankah Pemprov NTT dan Pemda Matim tersandung di batu yang sama? Entalah. Saya tidak paham dengan sanjungan Nurkholis untuk Pemprov NTT dan Pemda Matim.

Efek Multiplier Untuk Siapa?

Saya tidak tertarik menanggapi proyeksi kenaikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Matim sebesar Rp 48 miliar per tahun dari pajak dan retribusi yang bisa diserap dari pabrik semen dan tambang sebagaimana diklaim Wakil Ketua DPRD Matim, Bernardus Nuel beberapa waktu. Selain belum jelas perhitungannya, menurut praktisi dan pengamat perpajakan Ronsi B. Daur, sistem perpajakan di negeri ini ada kelemahannya, yaitu menggunakan sistem self assesment. Artinya, perusahaan menghitung sendiri kapasitas produksi, menghitung sendiri berapa pajak yang harus dibayar, lalu bayar sendiri melalui SSPD (Surat Setoran Pajak Daerah) ke bank yang telah disepakati oleh Pemda dan perusahaan. Lalu perusahaan melaporkan hasil bayar pajak tadi ke Pemda melalui formulir SPTPD (Surat Pemberian Pajak Daerah).

Yang menjadi pertanyaan, apakah Pemda memiliki akses untuk memeriksa pembukuan perusahaan? Tidak. Soal potensi pajak ada, tetapi nilainya nanti dulu. Demikian juga dengan potensi pendapatan dari landrent dan royalty sudah baku sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Polemik tentang kebutuhan semen di NTT dengan harga murah sudah dibantah oleh Fredy Hasiman. Jadi, tidak perlu ditanggapi.

Saya lebih tertarik membahas efek multiplier lain sebagaimana dipaparkan Nurkholis dalam opininya. Secara teoritis, kehadiran pabrik semen bisa saja merangsang industri lain. Namun membandingkan pabrik semen Bosowa dan Tonasa di Sulawesi Selatan (Sulsel) dan perkembangan industri di Bekasi dengan rencana pendirian pabrik semen di Luwuk tampaknya sebuah proganda murahan. Landscape Luwuk dan Lengko Lolok sangat jauh berbeda dengan kedua daerah industri tersebut. Demikian juga dengan kualitas sumber daya manusia (SDM) orang Sulsel dan Bekasi sangat jauh berbeda dengan orang Luwuk, Lengko Lolok dan Matim pada umumnya.

Pertama, pendirian pabrik di kedua daerah itu hampir tidak merelokasi pemukiman warga. Di Bekasi, misalnya, pabrik-pabrik itu didirikan di bekas daerah persawahan yang telah dibebaskan. Petani pekerja sawah adalah buruh dan bukan pemilik sawah. Mereka mudah diberi ganti rugi dan menjadi buruh tani di tempat lain atau banting stir bekerja di sektor informal, baik di Bekasi maupun di kota Metropolitan Jakarta. Sementara di Luwuk dan Lengko Lolok, kita semua tahu kualitas SDM kita. Mereka tidak memiliki skill dan keterampilan apa pun. Ketika tanah dan kampung mereka berpindah tangan ke investor, apa yang bisa mereka lakukan? Menjadi buruh kasar di tambang dan pabrik? Berapa banyak yang bisa diserap? Peluang kerja informal tidak tersedia dan tidak terampil. Akan terjadi guncangan budaya (culture shock). 

Kedua, peluang industri yang mungkin tumbuh karena efek dari kehadiran pabrik semen yang sesuai dengan potensi lokal menurut Nurkholis adalah sektor pertanian/perkebunan, perikanan dan pariwisata. Bisakah industri semen berdampingan dengan industri pertanian/perkebunan, perikanan dan pariwisata, mengingat industri semen bersifat polutif dan merusak ekosistem dan sebaliknya industri pertanian/perkebunan, perikanan dan pariwisata membutuhkan dukungan alam yang utuh, asri dan bersih?

Ketiga, dalam grand design pembangunan nasional untuk NTT, prioritas pembangunan pada sektor kelautan, peternakan, pariwisata dan pertanian/perkebunan. Bahkan sejak 2007 silam Flores telah ditetapkan sebagai New Bali (Bali Baru) untuk tujuan wisata. Penetapan itu ditindaklanjuti oleh Presiden Joko Widodo dengan menempatkan Labuan Bajo dan Flores pada umumnya sebagai destinasi premium. Bukankah kehadiran pabrik semen dan pertambangan batu gamping menjadi kontra produktif untuk pengembangan industri pariwisata, pertanian/perkebunan, dan kelautan? 

Kehadirian pabrik semen di Luwuk memutus mata rantai keindahan wisata bahari di pantai utara Flores yang membentang dari Labuan Bajo, Riung 17 pulau hingga taman laut teluk Maumere. Di sektor pertanian dan perkebunan, kehadiran tambang telah terbukti menurunkan produksi pertanian di desa Satar Punda dan sekitarnya. Sampai tahun 90-an Satar Teu merupakan penghasil sayur segar terbaik untuk Reo dan penghasil madu berkualitas baik. Curah hujan cukup terjamin, karena hutan di Serise yang mereka sebut “tana neni” masih terjaga kelestariannya. Masyarakat setempat menyebutnya dengan “puar timbang usang.” Ketika turun hujan di Golo Munga akan diterima “puar tana neni,” sehingga Satar Teu dan sekitarnya mengalami hujan. Namun setelah hutan tersebut dibongkar karena aktivitas pertambangan mangan, Satar Teu menjadi gersang. Habitat lebah hancur. Satar Teu tidak lagi menjadi penghasil sayur, bahkan saat ini mereka harus beli sayur di Reo. Demikian juga dengan madu, sudah tidak ada lagi karena lebah sudah pindah ke tempat lain. Bisa dibayangkan kerusakan alam di atas lahan 505 ha tersebut (yang jauh lebih luas dari Serise) dan dampak ikutannya karena tambang batu gamping dan pabrik semen.

Dampak di sektor kelautan juga tidak kalah dahsyatnya. Limbah industri, baik dalam bentuk cair maupun padat kemungkinan besar akan mengalir ke laut. Bukan tidak mungkin ekosistem laut akan rusak dan berdampak pada menurunnya hasil tangkapan nelayan.

Benar bahwa kehadiran pabrik semen akan merangsang industri jasa seperti kuliner, pasar, usaha kecil menengah (UKM), perumahan (property) dan jasa hiburan. Akan terjadi migrasi penduduk dari berbagai tempat di negeri ini untuk mengadu nasib di Luwuk, Reo, Gongger dan sekitarnya. Apakah peluang itu akan dinikmati oleh orang Luwuk, Lengko Lolok dan Matim pada umumnya? Saya kira tidak. Peluang-peluang bisnis tersebut akan menjadi milik “orang luar,” yang nota bene memiliki ketrampilan dan akses ke perbankan. Apalagi hingga saat ini tidak ada tanda-tanda Pemprov NTT dan Pemda Matim khususnya mempersiapkan mental dan keterampilan masyarakat lokal untuk menghadapi perubahan dan menangkap peluang bisnis. Masyarakat lokal akan menjadi penonton dan tamu di kampungnya sendiri. Mereka akan tersingkir dan tergilas oleh perubahan. Dengan demikian, Pemprov NTT dan Pemda Matim sekali lagi hanya membentangkan karpet merah bagi pelaku bisnis sektor jasa yang berasal dari luar Matim.

Sebelum segala sesuatunya menjadi bubur, sebaiknya Pemprov NTT dan Pemda Matim mengkaji kembali pemberian IUP untuk tambang batu gamping dan pabrik semen di Lengko Lolok dan Luwuk. Jangan sampai kisah pedih masyarakat adat Amungme dan Kamoro di Mimika, Papua terulang di Matim dan Flores. Demi investasi PT Freeport, masyarakat adat Amungme dan Kamoro terusir dari kampung halamannya dan tetap miskin. Kehadiran PT Freeport memang merangsang industri-industri lain dan pasar modern. Namun pelaku-pelaku bisnisnya adalah pendatang. Pasar dikuasai oleh orang Padang, Jawa dan Sulsel. Demikian juga di sektor kuliner dan UKM lainnya. Orang Amungme dan Kamoro kalah bersaing dengan para pendatang, karena mereka tidak disiapkan untuk menghadapi perubahan.

Dampak sosial lainnya adalah munculnya industri hiburan. Nona-nona manis dari Jawa, Menado, Sulsel berdatangan ke sana. Tidak heran jika prevalensi penyebaran HIV/AIDS dan penyakit menular seksual (PMS) lain di Timika termasuk tertinggi secara nasional (lihat Pieter Sambut. Pater John Djonga, Melawan Penindasan dan Diskriminasi di Papua, 2012). Bukan tidak mungkin kisah pedih serupa akan terjadi juga di Luwuk, Reo dan sekitarnya. Padahal sejak zaman dulu Flores dikenal sebagai pulau bunga dengan motto, “Flores Florete date odorem”– Flores pulau bunga tebarkan keharuman. Jika alam kita rusak, adat dan moral kita rusak masih pantaskah kita membanggakan motto tersebut?

Karena efek multiplier kehadiran pabrik semen dan tambang batu gamping di Luwuk dan Lengko Lolok tidak memberi manfaat yang signifikan untuk masyarakat lokal, maka pabrik semen dan tambang sebaiknya dihentikan sesuai dengan janji kampanye Viktor B. Laiskodat dan Yosef Nae Soi yang kini menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur NTT. Biarkan kandungan mineral yang ada di perut bumi Luwuk dan Lengko Lolok menjadi harta karun untuk anak cucu ke depan, setelah mereka memiliki SDM yang siap untuk mengelola kekayaan alam tersebut.

Bagi sekelompok orang yang mendukung pabrik semen dan tambang di Luwuk dan Lengko Lolok tidak perlu baper dengan sebutan manusia sesat, tidak waras, corong penguasa dan congor pengusaha (meminjam istilah Nurkholis), karena kalian melihat dengan kacamata gelap dan terbuai oleh mimpi. Belum terlambat untuk mengubah keputusan dan menolak kehadiran pabrik semen dan tambang batu gamping di Luwuk dan Lengko Lolok. ***

Editor: Elnoy


Berita Terkait

Komentar