Kebijakan Publik Bukan Soal Suara Terbanyak
Kampung Luwuk (foto: Don Nador)
oleh Yon Lesek
[INDONESIAKORAN.COM] Masih terkait polemik kehadiran Perusahaan Cina PT Singa Merah yang menggandeng PT ISTINDO MITRA MANGGARAI untuk usaha tambang batu kapur/gamping dan pabrik semen di Lengko Lolok dan Luwuk. Tambang dan Pabrik, keduanya tidak bisa dilihat terpisah, yang satu mengandaikan yang lain.
Sebuah media lokal manggaraipost.com/2020/06/05/ menulis berita dengan judul. "98 persen warga Lengko Lolok dan Luwuk Terima Kehadiran Pabrik Semen". Judul berita ini membuat gemuruh tepuk sorak-sorai para timses tambang yang berjibaku di lapangan, baik di dunia nyata maupun maya, untuk mensukseskan rencana pembangunan perusahaan tambang dan pabrik semen ini. Alasan ini selalu diulang-ulang mereka utarakan untuk meyakinkan publik, bahwasanya dominan masyarakat warga di lokasi dukung tambang.
"Kamu yang tolak mau ngomong berbusa-busa atau sampai pegel jari komentar di medsos, itu semua tidak ada gunanya. Warga yang punya tanah saja setuju, kalian yang tidak punya tanah yang malah gaduh, ribut, reseh, dan tidak tahu diri," begitu teriak mereka sampai berbusa-busa juga sih atau sampai pegel juga jari-jarinya.
Ya, timses tambang dan pabrik semen ini tampil serasa timses Pilkada ya, berusaha meraih suara terbanyak untuk memenangkan kandidat mereka. Mirip-mirip polanya: mendekati warga, merayu dengan iming-iming dan janji surga, dan mengawal agar suara tidak lari.
Aneh bin ajaib jika sorak-sorai mereka didasarkan pada mayoritas suara warga pemilik lahan yang mendukung hadirnya tambang dan pabrik semen di Lengko Lolok dan Luwuk. Padahal kita semua tahu ini bukan kontestasi Pemilu, bukan ajang Pilkada. Jadi, bukan soal mayoritas dan minoritas suara konstituen.
Non Multa sed Multum
Ada sebuah pepatah latin berbunyi, "Non Multa sed Multum", yang artinya "bukan jumlah tapi kualitas". Satu saja dari warga pemilik lahan yang menolak sudah menjadi alasan dasar untuk dipertimbangkan kembali rencana pengoperasian tambang dan pabrik semen ini. Bukan kuantitas, tetapi kualitas.
Mengapa? Karena ini menyangkut kebijakan publik, yang melibatkan para pemangku kekuasaan berdasarkan peraturan UU. Juga mengikutsertakan berbagai pertimbangan dalam segala dimensi terkait, agar tidak cacat secara hukum dan moral.
Namanya saja "kebijakan" publik. Akar katanya "bijak". Bijak, bijaksana, adalah sebuah keutamaan moral (virtue), kualitas animal rationale (makhluk berakal budi), yang tidak bisa dipisahkan apalagi dipertentangkan dengan tiga keutamaan moral lainnya, yakni kebenaran (verum), kebaikan (bonum), dan keindahan (pulchrum). Nah, sekarang kita bisa paham mengapa kebijakan publik itu selalu terkait atau mengacu pada asas "bonum commune" (kebaikan bersama).
Soal "bonnum commune" atau kebijakan publik, tidak bisa lepas pisah dari tiga keutamaan moral di atas dan tentang ketiganya bukan soal suara mayoritas-minoritas, bukan soal suara terbanyak, tetapi soal kualitas sebagai manusia berakal budi yang membedakannya dengan binatang.
Falsifikasi
Belajar dari kasus angsa. Pernah bertahun-tahun lamanya di sebuah pulau menganut pendapat yang diterima sebagai kebenaran oleh banyak orang bahwa semua angsa berwarna putih. Tampak realistis dan tidak mengada-ada memang, karena terlihat di hamparan persawahan berjubel angsa berwarna putih. Angkasa pun acapkali dihiasi ratusan angsa putih yang terbang bergerombolan.
Tak ada satu pun yang menyangkal apa yang dilihat banyak orang ini. Jika saja ada seorang yang mengatakan tidak semua angsa berwarna putih, pasti akan dilecehkan, dicela, bahkan disingkirkan.
Benar terjadi. Suatu hari seorang pemuda yang pernah membaca Karl Poper dengan teori termasyhurnya falsifikasi, meragukan pendapat banyak orang ini. Dalam petualangan keraguannya sebagai metode untuk menemukan kebenaran otentik, Pemuda itu akhirnya menemukan sesuatu yang brilian dan segera melawan arus.
Hari itu baru pulang dari lahan sawahnya, dengan mulut berbusa-busa sampai kerongkonganya kering, Pemuda itu mengatakan kepada orang sekampungnya bahwa tidak semua angsa berwarna putih. Ia pun terlibat dalam perdebatan sengit dengan semua orang dan tidak takut dibenci dan disingkirkan masyarakat karena pendapatnya itu bertentangan dengan suara mayoritas.
Heboh. Pemuda itu pun mengajak orang sekampung ke sawah untuk melihat dengan mata kepala sendiri angsa-angsa di sana dan hendak membuktikan kebenaran pernyataannya. Ia lalu masuk ke tengah kerumunan angsa yang sedang mencari makanan itu. Angsa pun berterbangan dan tinggal seekor anak angsa yang belum bisa terbang. Pemuda mengambil seekor anak angsa itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi sambil berkata, "Saudaraku semua, ini burung apa namanya? Angsa apa bukan?"
"Ya, itu angsa," jawab mereka.
"Angsa ini warnanya apa?"
Semua hening. "Warna hitam, bukan?"
Pemuda itu melanjutkan, "Sekarang kalian lihat sendiri, tidak semua angsa berwarna putih, saudaraku semua. Salam waras!"
Sejak saat itu, pendapat yang diakui sebagai kebenaran bertahun-tahun pun gugur dengan sendirinya hanya karena ditemukan seekor anak angsa yang berwarna hitam. Kebenaran, kebaikan, dan keindahan bukan soal kuantitas, tapi kualitas.
Kebijakan publik bukan soal suara terbanyak. Walaupun hanya satu saja yang menolaknya, kebenaran tetap ditegakkan dan "bonnum commune" sebagai asas dasar suatu kebijakan publik tetap diperjuangkan walau sampai langit runtuh.*