SBY-Jokowi: Habis Gelap Terbitlah Terang

Selasa, 12 September 2017 | 10:29 WIB
Share Tweet Share

Presiden Jokowi dan SBY

Habis Gelap Terbitlah Terang adalah buku kumpulan surat yang ditulis oleh Kartini kepada teman-teman korespondensinya di negeri Belanda dan salah satunya bernama Rosa Abendanon, yang notabene adalah orang yang dekat dengan “pemerintahan” waktu itu.

Setelah Kartini wafat, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa.

Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya "Dari Kegelapan Menuju Cahaya". Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini.

Pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkannya dalam bahasa Melayu dengan judul yang diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran, yang merupakan terjemahan oleh Empat Saudara. Kemudian tahun 1938, keluarlah Habis Gelap Terbitlah Terang versi Armijn Pane seorang sastrawan Pujangga Baru.

Armijn membagi buku menjadi lima bab pembahasan untuk menunjukkan perubahan cara berpikir Kartini sepanjang waktu korespondensinya. Versi ini sempat dicetak sebanyak sebelas kali. Surat-surat Kartini dalam bahasa Inggris juga pernah diterjemahkan oleh Agnes L. Symmers. Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Jawa dan Sunda.

Terbitnya surat-surat Kartini, seorang perempuan pribumi, sangat menarik perhatian masyarakat Belanda, dan pemikiran-pemikiran Kartini mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa. Raden Ajeng Kartini, perempuan ningrat yang sudah berpendidikan pada masanya dan juga mahir berbahasa Belanda ini menginspirasi perempuan modern karena emansipasinya melalui tulisan-tulisannya yang dibukukan itu.

Apa kaitannya dengan SBY dan Jokowi? Terasa aneh dan terkesan dipaksakan kalau dikait-kaitkan.  Tapi bagi saya,  apa pun perasaan spontan yang muncul,  sejarah selalu mengandung pesan masa depan.  Tepatnya,  di dalam catatan sejarah,  masa depan sudah terjadi sebelum waktunya.  Tugas kita adalah menyingkap sejarah dan maknanya agar terkuak dan menjadi sorotan untuk membaca kekinian.

Masa depan itu sesungguhnya tidak ada.  Yang ada adalah masa lalu dan masa kini.  Namun di ujung quantum kekinian masa depan itu mengandung.  Siapa yang mengetahui kekinian dan berdiri di titik terkini,  dia mengetahui masa depannya.

Landasan filosofis ini mendasari keberanian saya untuk membaca SBY dan Jokowi saat ini dari kumpulan surat-surat RA Kartini yang dikirimkan rakyat Indonesia dan sedang dibukukan.

Hubungan SBY-Jokowi lama terbenam dalam kegelapan semenjak pertarungan Pilpres 2014, yang mengantarkan Jokowi sebagai Presiden. Persisnya kegelapan itu bukan karena Jokowi,  tetapi karena sosok SBY-Megawati yang bertarung gengsi dan pengaruh di balik Jokowi. 

Kita tahu bagaimana SBY-Megawati berseberangan dan tak mau bersua semenjak SBY mengundurkan diri dari Kabinet Presiden Megawati kala itu dan kemudian mengajukan diri sebagai capres melawan Megawati dan keluar sebagai pemenang.

Kegelapan amat terasa semenjak peristiwa itu. Genderang 'perang dingin' ditabuhkan.  Tak lagi ada tegur sapa.  Tak ada ruang tersedia untuk perjumpaan.  Yang ada saling menghindar dan berseberangan dengan sinis. Bahkan Megawati,  sebagai Presiden sebelumnya,  tidak pernah menghadiri Upacara Tujuhbelasan di Istana Negara selama SBY dua periode menjadi Presiden RI. Baru setelah Jokowi,  seorang anak tukang kayu yang dimentorinya menjadi Presiden,  Megawati datang ke istana. Sementara SBY sebaliknya tidak.

Perhelatan Pilgub DKI baru-baru ini menjadi titik kulminasi  dimana di titik ini terkuak hitam dan putih para tokoh yang terlibat.  Di titik ini NKRI terancam punah oleh radikalisme dan isu primordial,  di mana di kedalamannya dipicu oleh kehendak para tokoh politik untuk berkuasa dan memanfaatkan kerentanan Indonesia  dalam hal SARA sebagai tools untuk memenangkan pertarungan. 

Ketegangan pun memuncak bahkan sampai tenar adagium, SBY-Jokowi  tak akan pernah  akur sampai lebaran kuda.  SBY dituding sebagai provokator aksi makar dan sehati dengan kelompok garis keras yang berkolaborasi dengan para kandidat Gubernur rival Ahok, hingga Ahok dibungkam di dalam penjara.

SBY pun sangat amat geram dengan predikat ini,  bahkan meletup amarahnya ke publik. Walau demikian,  predikat itu terlanjur terpatri di benak rakyat banyak dan rasa muak pada SBY dan partainya Demokrat pun tak terhindarkan.

Cahaya tak pernah redup walau disekap.  Di balik awan gelap,  matahari tetap bersinar. Habis Gelap terbitlah cahaya.  Gerakan balik setelah Cahaya dibungkam kian terasa.  Satu-satunya cara untuk mengembalikan keadaan,  bukan melawannya apalagi diam tak berbuat apa-apa, tetapi menyibak kabut gelap dengan mendekati sumber cahaya itu sendiri.

Agus Harimurti Yudhoyono,  Anak kandung SBY yang akrab disapa AHY mendatangi istana Presiden untuk mengundang Jokowi menghadiri acara  launching lembaga baru yg dipimpinnya bernama Yudhoyono Institute.  Walau Jokowi akhirnya tak bisa memenuhi undangan spesial itu karena sudah ada kegiatan lain yang terjadwal sebelumnya,  tetapi pesan perjumpaan itu mengisyaratkan rekonsiliasi. Sebuah upaya menyibak kegelapan untuk yang kedua kali setelah sebelimnya SBY sempat ke istana untik nge-teh bareng sama Jokowi.

Menjelang perayaan Tujuh Belas Agustus 2017,  HUT  KEMERDEKAAN RI ke-72 yang lalu,  isu kembali beredar,  akankah SBY datang ke istana dalam perayaan itu.  Banyak spekulasi muncul bahwasanya SBY tak bisa hadir saat itu karena satu dan lain alasan. 

Tapi kenyataannya lain. Terjadi perjumpaan antara SBY dan Megawati di hadapan Jokowi saat itu. Mereka bersalaman sambil ngobrol sesuatu. Patut dihargai jiwa besar para tokoh ini untuk sama-sama mencoba menyibak kabut kegelapan demi NKRI tercinta tetap bercahaya.

Momen HUT RI Ke-72 di Istana Presiden, 2017.

Adakah ini sebuah sinyal langkah rekonsiliasi dimulai? Sebuah langkah rekonsiliasi yang amat berani karena harus meninggalkan rekan-rekannya terkurung di dalam kegelapan dan kesempitan diri. Tetapi,  kalau ini semua karena cinta akan NKRI,  maka harus siap menanggung risiko melupakan masa lalu yang gelap bersama sekelompok kawanan yang masih berkubang di sana.

Pertemuan Megawati Soekarnoputri dengan Susilo Bambang Yudhoyono bertepatan dengan momentum peringatan hari kemerdekaan ke-72 RI di Istana Presiden, Kamis (17/8/2017), menjadi sorotan publik. Bahkan, setelah upacara bendera, kedua mantan presiden itu terlibat perbincangan dan saling bersalaman. Perbincangan yang berlangsung di Istana Merdeka ini pun menjadi tanda tanya, mengingat selama ini keduanya disebut-sebut terlibat “perang dingin”. Sejumlah kalangan bertanya, apakah peristiwa salaman ini pertanda SBY akan mendukung Joko Widodo pada Pilpres 2019?

“Ini momentum langka. Kedua tokoh yang sudah sejak lama terlibat “perang dingin” atau tidak pernah berkomunikasi, saling bersalaman dan berbincang-bincang. Sepertinya ini pertanda SBY akan mendukung pemerintahan Jokowi dan akan mendukung Jokowi pada Pilpres mendatang,” kata pengamat politik Mirwan Syam kepada media.

Begitulah politik, tidak ada yang abadi selain kepentingan itu sendiri.  Semua bisa saja terjadi, asal pintar-pintar kelola.  Integritas politik diuji,  tidak saja ketika dia konsisten,  tetapi ketika dia berubah demi suatu kepentingan yang lebih besar. Seperti air yang mengalir,  jika diam ia membusuk.  Tetapi jika dia terus bergerak,  bisa saja riak suaeanya kedengaran keras karena harus terjun dari tempat yang curam.

“Sangat mungkin peristiwa salaman SBY dan Mega menjadi pembicaraan awal bagi kedua partai melakukan koalisi. SBY tentu menginginkan putranya Agus HY menjadi cawapres. Namun dalam dunia politik semua bisa berubah,” kata Mirwan kepada Harian Terbit, Jumat (18/8/2017).

Para Presiden Indonesia foto bersama di Istana pada HUT RI Ke-72.

Namun Mirwan mengapresiasi peristiwa salaman tersebut. “Peristiwa ini akan menyejukkan dunia politik di Tanah Air. Sebaiknya semua tokoh politik saling berangkulan dan bekerjasama dalam membangun negeri ini,” ujarnya.

Cahaya itu kian mencuat ke permukaan dan menyibak kegelapan. Teranyar,  Pidato SBY saat Perayaan HUT Partai Demokrat memberi sinyal yang amat kuat.

Dalam pidato HUT Demokrat ke-16, Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan jajarannya membantu pemerintahan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Sinyal siap bergabung ke koalisi pemerintah? 

"Mendukung pemerintah itu adalah hasil kongres IV Demokrat di Surabaya 2015, bahwa sikap Demokrat lima tahun ke depan mendukung pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan ini dengan baik," kata Sekjen PD Hinca Pandjaitan menjawab teka-teki itu di Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (9/9/2017).

Demokrat akan bersikap adil kepada pemerintah Jokowi. Mana yang harus dipuji akan dipuji, yang jelek pasti disoroti. 

"Yang baik kita dukung, tetapi sebagai partai politik, PD juga mengkritisi sesuatu yang belum baik agar lebih baik ke depan, gitu," tegas Hinca.

Dalam pidatonya itu, SBY awalnya menyinggung soal sejarah bangsa dan kondisi negara saat ini. Ada beberapa hal di masa lalu yang disorotinya, mulai dari korupsi, aparat militer partisan, pembangunan ekonomi, hingga hak masyarakat bersuara di publik

SBY ingin pemerintah menghilangkan semua hal tersebut yang diibaratkannya sebagai penyakit bangsa. Namun dia sadar pemerintah tak dapat bekerja sendiri. 

"Karenanya, melalui mimbar ini, saya mengajak seluruh kader dan simpatisan Partai Demokrat untuk membantu negara dan pemerintah menjalankan tugas dan kewajibannya," ucap SBY.

Anda senang dengan langkah SBY dan Partai Demokrat mendekati dan merangkul Jokowi dan pemerintahannya?  Kalau Anda masih dongkol,  sebel, ya ...  hal itu gejala psikologis manusiawi yang wajar,  karena sesunggujnya air mata itu tak selamanya ekspresi kesedihan,  tapi juga luapan kegembiraan tak terkira. Bahwasanya pesan HUT Kemerdekaan RI ke-72 mengena di hati dan menggerakkan revolusi mental dan pola pikir untuk menyadari keanekaragaman kita sebagai Indonesia dan mau duduk bersama dalam perbedaan di dalam satu bingkai cinta akan NKRI,  Pancasila,  UUD '45 dan Bhineka Tunggal Ika.

Bintang kembali bersinar. Orasi politik Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono mensyaratkan  Kader Partai Demokrat harus ikut membantu pemerintah saat ini, baik di legislatif maupun eksekutif,  berkoalisi dengan pemerintahan Jokowi dalam membangun Indonesia. 

Apakah bermakna Partai Demokrat siap menggolkan setiap kebijakan pemerintah di DPR? Ya,  itu sudah jelas, termasuk mendukung pembubaran ormas radikal dan penguatan KPK. Kalau dulu dituduh "sehati dengan FPI dan HTI" ,  sekarang dinyatakan dengan tegas dan jelas "sehati dengan Jokowi".

Catatan lepas suara hati rakyat yang dikirim melalui banyak media,  baik cetak maupun elektronik,  baik di dunia nyata maupun di dunia maya, kini sedang dibukukan oleh para petinggi partai yang berhati nurani,  dengan judul "Habis gelap terbitlah cahaya".

Lihatlah sinyal harapan itu makin jelas dan kabut kegelapan kian terurai.  Yang masih tak mau ikut arus ini bakal gigit jari.  Akan mati seperti kodok rebus (boiled frog phenomenon). 

SBY makin dekat dengan Jokowi,  membuka ruang perjumpaan dan rekonsiliasi dengan Megawati,  mendukung kebijakan pemerintahan Jokowi dan mengusung Jokowi sebagai capres 2019, langkah yang patut diapresiasi.  Hanya dengan demikian cahaya bintang kembali bersinar bersama NKRI yang makin bercahaya.

Penulis

Yon Lesek

Editor: Elnoy


Berita Terkait

Komentar