Andre Garu : Rawat Tenun Sumba, Jangan Sampai Dicap Milik Malaysia

Kamis, 14 September 2017 | 17:58 WIB
Share Tweet Share

Senator Andre Garu bersama tenun ikat asal Sumba, NTT. [Foto: Indonesiakoran]

[JAKARTA] Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) asal Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Adrianus Garu meminta masyarakat Indonesia umumnya dan masyarakat NTT khususnya agar menjaga dan merawat kain tenun Sumba.

Hal itu supaya di masa medatang kain tenun tersebut tidak diklaim menjadi milik Malaysia seperti terjadi pada kain batik produksi Jawa.

"Kita harus jaga bersama-sama. Tidak hanya masyarakat Sumba atau NTT, tetapi kita semua anak bangsa ini. Kita ambil pengalaman Batik yang sudah diklaim milik Malaysia," kata Andre, sapaan akrab Adrianus Garu saat menjadi pembicara dalam seminar mengenai Tenun Sumba di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Kamis (14/9).

Selain Andre, tampil pula sebagai pembicara Asesor Kota Kreatif dari Badan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia Arif Sugiono dan Akademisi Universitas Indonesia Rachma Fitriati.

Andre menjelaskan kain tenun Sumba menggunakan bahan pewarna alami yang berasal dari daun dan akar-akaran. Bahkan buah kemiri bisa dimanfaatkan untuk tujuan pewarnaan ini.

Motif tenunan sangat khas dengan ola gambar di atas kain  sarat nilai-nilai religius. Misalnya gambar ayam melambangkan kehidupan wanita ketika berumah tangga.

Kemudian kuda adalah lambang kebanggaan, kekuatan, dan kejantanan.

Sementara burung kakatua yang berkelompok melambangkan persatuan-kesatuan dan musyawarah-mufakat.

"Aktifitas menenun merupakan tradisi utama masyarakat Sumba. Kegiatan menenun tidak hanya untuk menunjang hasil ekonomi, tetapi juga dalam  kegiatan religius," jelas Andre.

Menurutnya,‎ nilai ekonomis kain tenun Sumba sudah mulai mencuat sejak zaman Belanda dengan diekspornya ke berbagai penjuru dunia.

Untuk warga negara asing, kain tenun Sumba bermakna verbal semata, namun bagi masyarakat Sumba menjadi cermin kehidupan ritualnya.

Kain Sumba tidak saja sebagai pelindung tubuh, tetapi juga dipergunakan dalam prosesi penguburan mayat, dan ritual perkawinan.

"Kain tenun Sumba biasa dijual dengan harga belasan ribu rupiah untuk selendang dan jutaan rupiah untuk kain ukuran normal. Bahkan, ada kain tertentu yang menjadi peninggalan para keturunan raja bernilai puluhan juta rupiah," ungkapnya.

Politisi Partai Hanura ini mengungkapkan bulan Agustus 2017 lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru saja pulang dari Sumba.

Dia ingin melihat langsung tenun Sumba dan menyaksikan ‎parade 1.001 kuda khas Sumba. 

"Selaku wakil rakyat, saya sangat mendorong kreativitas-kreavitas masyarakat seperti tenun Sumba ini. Tenun Sumba sebagai satu lakomotif kemandirian Pulau Sumba. Kami mendorong Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif agar memperhatikan secara lebih serius lagi tenun Sumba," tegasnya.

Dia menambahkan dalam setiap perjalanan ke luar negeri, dirinya selalu mempromosikan hasil-hasil khas NTT.

Setiap bertemu diplomat dan duta besar, baik di dalam negeri maupun luar negeri, dia selalu memberikan soviner‎ khas NTT.

Hal itu untuk mempromosikan propinsi NTT ke masyarakat luas.

Sementara ‎Rachma Fitriati menyayangkan karya tenun Sumba yang masih bersifat tradisional dan bersifat kegiatan pribadi (individual personal).

Akibat dari kondisi tersebut, tenun Sumba belum menjadi komoditas ekonomi yang meningkatkan pendapatan masyarakat. Hasil tenun lebih banyak koleksi pribadi yang tidak untuk dijual.

Menurutnya, kondisi itu terjadi karena tenun Sumba belum dibuat kelembagaan yang baik. Belum ada institusi khusus yang mengurusi dan menangani masalah tenun.

"Belum ada wadah koperasi khusus soal tenun ini. Produksi dalam jumlah masal juga belum ada. Suport pemerintah juga masih rendah," tuturnya.

Editor: Gusti


Berita Terkait

Komentar