NU Merapatkan Barisan Mencegah Radikalisme
Pasukan Banser [Istimewa]
Radikal, secara etimologis, mempunyai arti berpikir hingga dasar suatu masalah. Pikiran ini akan membawa seseorang untuk selalu bertanya dan juga menghubungkan satu konsep dengan konsep lain hingga mendapat jawaban dari sebuah pertanyaan “mengapa”.
Di sisi lain, radikal juga berarti tindakan keras. Semangat yang kuat dan militan untuk berubah. Sehingga bila dua sisi ini dihubungkan akan memperoleh makna: sebuah tindakan nyata untuk mencari sebuah jawaban melalui cara-cara yang keras.
Keras di sini tidak akan menjadi masalah bila hanya keras pada dirinya sendiri. Namun, akan menjadi masalah sosial jika usaha keras ini sudah mencapai tingkat memaksakan kehendak kepada orang lain.
Radikalisme Saat Ini
Gerakan radikal yang muncul kembali dengan Hizbut Tahrir sebagai pelopor tentu bukan hal yang dapat dianggap mudah diselesaikan. Gerakan radikal ini bukan sekadar upaya dakwah, tetapi lebih menuju ke penggantian sistem pemerintahan. Ini berarti kedaulatan negara sedang dalam pertaruhan.
HTI menyusup ke masyarakat dengan membawa sebuah mimpi yang bernama khilafah. Mereka mengambil posisi berseberangan dengan pemerintahan yang sah. Dalam kondisi seperti ini, upaya penyusupan ini diawali dengan sebuah kritik bahwa pemerintahan yang sekarang tidak berhasil serta memberi masukan bahwa pemerintahan dan sendi negara tidak sesuai dengan syariat Islam.
Alasan atau argumen yang disodorkan oleh HTI adalah argumen konyol. Mereka melupakan bahwa azas negara dan bangsa ini berdasarkan musyawarah. Sedangkan HTI juga mengetahui bahwa musyawarah adalah perintah agama. Nabi Muhammad pun menjadikan Madinah sebagai negara juga berlandaskan kesepakatan atau musyawarah dengan orang-orang non muslim dan suku-suku yang berada di luar Madinah.
Lantas, siapa yang dijadikan teladan oleh Hizbut Tahrir? Tidak ada. Hizbut Tahrir menjadikan imajinasi berbungkus agama sebagai teladan.
Dakwah-dakwah yang dilakukan HTI dan tingkah polah FPI merupakan pembenaran bahwa negara sedang diarahkan menuju kehancuran. Sinyal dari kedua ormas ini kemudian diterjemahkan oleh para pelaku bom bunuh diri sebagai pembenaran.
Kemunculan HTI dan ISIS sebagai gerakan radikal menunjukkan sebuah konsekuensi dari beberapa hal yang terpinggirkan. Seperti politik, ekonomi. agama maupun ras. Dengan memainkan isu kesenjangan dan secara terus-menerus menempatkan pemerintah pada posisi yang bertentangan dengan Islam, lambat laun upaya doktrinisasi membuahkan hasil. Beberapa pejabat negara pun tampak setuju atau minimal diam ketika gerakan ini meluas ke seluruh penjuru tanah air.
Upaya-upaya NU Menghadapi Isu Kesenjangan Ekonomi
Penggalangan massa ini dilakukan dengan menggunakan isu ekonomi. Bahwa perekonomian nasional telah hancur, tarif listrik naik, dan sebagainya. Karena kaum radikal buta, mereka berpikir bahwa Indonesia adalah pulau Jawa dan Sumatera saja.
Listrik dan biaya lain mengalami kenaikan karena Papua, Sumbawa, Tarakan, Talaud, dan desa-desa di pelosok negeri adalah Indonesia sehingga mereka juga berhak menikmati hasil pembangunan. Untuk kemudian isu ekonomi akan dimaksimalkan agar dapat menggunakan kekuatan massa dalam merebut kekuasaan. Situasi itu nyaris terjadi dalam aksi togel 411 dengan komando dobel F dengan isu yang berbeda.
NU telah bekerja sama dengan pemerintah dalam upaya membangkitkan ekonomi bagi banyak pihak. Silahkan menghubungi kantor NU atau badan otonom NU setempat untuk keterangan lebih lanjut.
Siasat yang lain adalah menjauhkan mereka yang mempunyai genetis NU dengan kyai tradisional dan struktural. Salah satu caranya adalah dengan melabeli kyai NU sebagai Syiah dan sebagainya.
Munculnya NU Garis Lurus adalah upaya menjauhkan NU tulen dengan para kyainya. Banser yang menjaga gereja, wihara dan rumah ibadah non muslim pun tidak luput dari label Islam abal-abal. Sedangkan Banser memutuskan untuk turun menjaga rumah ibadah lain adalah karena akan dirusak oleh yang menuduh Banser.
Sederhananya adalah Banser menjaga rumah ibadah non muslim karena telah diharamkan bagi muslim untuk menghancurkan rumah ibadah agama lain. Saya mengatakan ke beberapa orang non muslim, bila anda terganggu maka carilah aman di rumah saya.
Hal ini juga berlaku di mana pun wong NU berada. Karena Islam hadir tidak untuk menjadi benalu atau parasit. Banser menjaga keharmonisan beribadah ini karena kesadaran bahwa Islam adalah rumah bagi setiap manusia. Mereka tidak memungut bayaran satu rupiah pun.
Upaya NU yang secara tradisional sudah menahan pergerakan ini tetap mengalami kesulitan dalam membuang paham radikal jauh-jauh dari masyarakat. Mengapa NU bisa sampai kedodoran?
NU bukanlah otoritas di negara ini, NU hanya seorang satpam. Ketika NU melawan, dia sendirian dalam perlawanan ini. Biaya-biaya ditanggung sendiri oleh individu-individu NU yang terpanggil ketika kyai menyerukan untuk turun dan melawan. Semua perlawanan dilakukan secara sporadis. Para serdadu NU rela menyisihkan waktu dan tenaga untuk berkutat dalam pertempuran baik di media sosial maupun mushola.
Namun, upaya ini tidak akan ada artinya jika tidak didukung oleh pemerintah dengan memberhentikan PNS yang radikal serta militan, mereformasi struktur MUI, dan lainnya.
Sedangkan di sisi lain, paham radikal ini mempunyai dukungan dana yang nyaris tak terbatas. Mengirim penceramah karbitan dan mendominasi siaran televisi, media massa serta media sosial yang secara massif memberitakan keburukan-keburukan pemerintah menjadikan situasi semakin sulit. Menjadikan mimbar-mimbar di masjid sebagai ajang memecah belah persatuan manusia.
Saya katakan manusia bukan umat Islam. Umat Islam adalah bagian kecil dari sejumlah manusia. Jika bagian kecil ini sudah terpisah maka bagian besar akan segera terpisah karena hilangnya satu perekat.
NU Merapatkan Barisan Demi NKRI
NU telah merapatkan barisan demi NKRI. Demi sebuah amanah dari sang kyai, KH Hasyim Asyari. Dan untuk itu semua, para calon bayi yang dikandung orang NU pun mungkin akan segera meminta untuk dilahirkan dan para jamaah yang telah wafat pun mungkin akan memohon untuk dihidupkan kembali. Demi nama baik Islam dan demi sebuah negara, Indonesia.