Pengadilan Opini dan Positioning Media dalam Kasus Uskup Ruteng
Katedral Ruteng yang lama [foto: istimewa]
Pengadilan opini sedang kuat-kuatnya terjadi di keuskupan Ruteng, yang melibatkan imam dan umat. Tulisan ini lebih sebagai pengamatan sosial media atas pergunjingan kasus yang sedang melanda keuskupan Ruteng, Flores, sehingga merujuk ke beberapa komentar orang di medsos. Nama pemilik status sengaja tidak disebutkan untuk menjaga privasi dan penulis juga sadar tidak akan memprivatisasi pendapat mereka.
***
Berawal dari pemberitaan sebuah media online pada pagi 12 Juni 2017. Diperkuat pula oleh Konferensi Pers dari Para Imam yang melakukan aksi massa mendatangi keuskupan hendak bertemu Uskup pada sore harinya. Uskup saat itu sedang tidak di tempat, baru menjelang malam kembali. Kemudian, diikuti pemberitaan selanjutnya dan juga oleh media-media lainnya dengan berbagai berita dan opini.
Intinya, masalah yang selama ini bagai bisul di tubuh Gereja Katolik Manggarai, kini pecah sudah. Aroma busuk menebar tak tentu arah, di dunia nyata pun di dunia maya. Semua orang yang punya akses membauinya ikut berkomentar di berbagai media sosial, seperti facebook, What's App (WA), twitter, Line, dsb.
Sementara Uskup yang menjadi objek kunci pergunjingan hanya mengeluarkan sepatah kata yang menghimbau untuk mencintai Gereja dan Umat Allah. Selebihnya memilih tak berkomentar, termasuk tentang apa yang dituduhkan kepadanya.
Maka yang terjadi adalah persepsi yang dibangun semakin tak terkontrol.
Ini bukan sekadar persoalan moral, etika, dan hukum, tetapi soal "kehendak berkuasa". Mengutip status facebook seorang pastor, demikian: "Jeder Mensch, der Macht hat, wird dazu getrieben, sie zu missbrauchen. Darum benoetigt alle Macht eine Gegenmacht, die Macht bremst - Setiap manusia yang memiliki kuasa didorong untuk menyalahgunakannya. Maka setiap kuasa membutuhkan mekanisme kontrol yang membatasi kekuasaan tersebut (Montesquieu, Ueber die Gesetze, bab 4)."
Ini berlaku untuk semua jenis kekuasaan, juga yang atas nama kekudusan, kebenaran, transparansi, dan kebaikan bersama. Termasuk media pemberitaan.
Hati-hati dengan euforia demokrasi, dimana simbol utamanya adalah kebebasan pers. Atas nama kebebasan pers, kita menyerahkan kekuasaan atas diri dan jabatan kita kepada media dan permainan opini publik yang tak terkontrol. Seolah-olah kekuasaan menyelesaikan konflik ada pada kekuasaan pemberitaan media.
Tanggapan Terpolaristik
Berbagai tanggapan muncul secara polaristik tentang kisruh di Keuskupan Ruteng, Flores. Ada dua sisi yang mewarnai ketegangan itu. Saya memakai istilah dua sisi, bukan dua kubu, karena pada inti terdalam niatnya, keduanya sama, bagai mata uang logam dengan dua sisi.
Satu sisi giat membuka semua ke publik melalui pers dan medsos agar 'terang semuanya' dan telanjang. Pada sisi lain, ada yang memilih pertimbangan keresahan sosial dan perasaan iman umat sehingga menempuh jalan tak perlu berkoar-koar ke media/publik untuk segala upaya menyelesaikan masalah internal Gereja yang sensitif ini.
Tentu masing-masing posisi punya alasan tersendiri. Pada sisi yang menghendaki untuk 'bongkar sekalian kebusukan Gereja" ini melihatnya sebagai tuntutan zaman yang sulit dilawan lagi. Cara-cara halus katanya sudah tidak mempan lagi.
Sisi yang setuju untuk "bongkar semua" ini memberi catatan kritis sekaligus mau belajar dari kelemahan orang Katolik yang selalu merasa tabu untuk memperbincangkan kesalahan Gereja. Takut dosa dan kutuk. Ini merupakan kesalahan kolektif umat Katolik Manggarai yang menghambat pembaruan Gereja karena menumpulkan sikap kritisnya sendiri atas ketimpangan Gereja di depan matanya sendiri, tegas mereka.
Kita tahu ada penyimpangan tapi diam saja dengan alasan menjaga marwah Gereja. Lalu kita tersentak ketika di luar sana ada berita kasus pedofilia yang melibatkan pemimpin agama kita. Tapi kita tidak sadar atau pura-pura tidak sadar, di sekitar kita kasus serupa juga terjadi. Maka, "bongkar semua" saja sudah waktunya sekarang untuk Gereja Katolik Manggarai yang lebih baik ke depannya.
Berbeda tanggapan pada sisi satunya lagi, yang memilih coolling down dan menyelesaikan masalah internal Gereja secara internal, tak perlu mengumbar-umbar ke publik. Sebab, sisi ini melihat bahwa "bongkar semua kebusukan Gereja" ke publik tidak akan bertemu solusi, malah menawarkan kerunyaman dan khaos, dimana umat kecil yang tak mengerti jadi ikut bingung dan pening. Belum lagi umat yang sudah dari dulu tidak suka pada Gereja karena bersinggungan sikap dan peran, memanfaatkan kisruh ini sebagai pembenaran.
Sebagai analogi. Menangkap belut dengan membuang racun ke sungai itu paling gampang untuk membuat belut keluar dengan lemes dari gua persembunyiannya. Tapi kalau banyak ikan kecil yang tak tahu apa-apa dan bukan target jadi linglung, mabuk bahkan mati, kiranya kita pertimbangkan lagi untuk melakukannya. Kita juga tahu ada buaya yang siap melahap memanfaatkan situasi keruh.
Positioning Media
Dampak pemberitaan media, baik pers maupun medsos terhadap masalah di Keuskupan Ruteng itu beragam, baik positif maupun negatif. Kita tidak bisa mengendalikannya lagi apalagi melarang atau saling menyalahkan.
Sebab, ketika teks dipublikasi, ia berubah jadi wacana dan bersifat otonom. Ruang multitafsir terbuka lebar. Dan bahkan ada yang menganggap sok tahu semua dan yang paling benar, mungkin melebihi Tuhan.
Seorang pelaku facebook yang tinggal di Austria, dalam statusnya menulis:
"Saya membaca banyak komentar tentang keuskupan Ruteng di FB. Umat Indonesia di Austria menanyakan saya tentang hal ini. Hanya satu permintaan saya: HATI-HATI MEMBERI KOMENTAR DAN JANGAN BERLEBIHAN, APALAGI KALAU TIDAK MENGERTI BETUL MASALAHNYA DAN BERDOALAH. Paus Yohanes Paul II pernah berujar: 'Untuk mengetahui keadaan kesehatan saya hari ini, saya cukup membaca majalah. Tuhan mengetahui segala hal, tetapi Tetangga dan surat kabar selalu mengetahui lebih dari Tuhan.' God knows everything, but your neighbors and Facebooks friends always know more than God."
Manusia bukan Tuhan yang tahu segala dan tiada lagi manusia yang tahu semua kehendak Tuhan di balik setiap peristiwa. Kesadaran inilah yang menjiwai pers dan pelaku media, khususnya media Katolik, untuk menentukan positioningnya dalam setiap pemberitaan.
Sebagaimana dikatakan seorang wartawan senior dalam ruang diskusi tertutup, bahwasanya di sinilah persisnya sikap atau kebijakan redaksional itu perlu didiskusikan di internal media masing-masing.
Untuk hal-hal yang menurut kita, ada unsur kepentingan yang lebih besar, kepentingan yang lebih mulia, kebijakan seperti itu mungkin perlu dipikirkan, diambil dan diturunkan dalam pilihan angle atau sudut pandang dalam menulis sebuah kemelut.
Kita tahu banyak, apa harus ditulis semua?
Kita dengar banyak, apa perlu ditulis semua?
Kita lihat banyak, apa perlu ditulis semua?
Fakta tentu saja selamanya akan menjadi mahkota jurnalisme, tapi kita tetap menjadi bagian atau bahkan terdepan dalam memperjuangkan kebaikan bersama dalam suatu masyarakat. Jangan sampai kita hanya bisa menyulut api lalu pergi.
Ini tugas kita semua, cooling down itu penting, masalah internal itu diharapkan bisa diselesaikan dengan dialog, duduk bersama.
Intinya, kita bisa membantu situasi coolling down. Solusi yang baik hanya mungkin diputuskan dalam situasi yang tenang, hati dan pikiran yang adem, meski tetap harus tegas.
Inilah ujian buat media atau profesi kita. Apakah kita menjadi bagian dari apa yang disebut amplifier, speaker bagi mereka yang berpekik dan menyahut, bagian dari umat yang ikut respek, atau berusaha menjadi bagian dari solusi meski itu agak susah.
Pilihan-pilihan itu menentukan tone atau nada berita. Tone itu menentukan pilihan sumber yang harus kita wawancara untuk kemelut seperti ini.
Tidak sulit kalau sekadar menjadi speaker. Kita yang mengamplifai kaset. Kasetnya dangdut, dangdut yang kita amplifai, dangdut pula yang didengar orang.
Tapi, menjadi wartawan itu, dalam bahasa yang agak sombong, adalah menjadi intelektual juga. Kita bisa mempengaruhi perasaan orang. Mempengaruhi cara orang melihat sebuah soal.
Dalam kasus kita ini, kasus di keuskupan Ruteng ini, setelah riuh yang tidak karu-karuan di media sosial, mungkin saatnya kita coolling down. Ambil sisi harapan dan solusi.
Menutup ulasan ini, saya mengutip penggalan awal Pesan Paus Fransiskus untuk Hari Komunikasi Sedunia Ke-51, berikut ini (Terjemahan resmi dan lengkapnya ada pada Komisi Sosial KWI).
"JANGAN TAKUT, AKU MENYERTAIMU: MENGOMUNIKASIKAN PENGHARAPAN DAN KEPERCAYAAN"
Keterjangkauan yang mudah dan terbuka pada media komunikasi—berkat kemajuan teknologi—memungkinkan banyak orang berbagi kabar secara langsung dan menyebarkannya secara luas. Kabar berita itu dapat saja bercorak baik atau buruk, benar atau palsu. Para Bapa Gereja Kristen awal membandingkan pikiran manusiawi dengan sebuah mesin penggiling yang tidak dapat dihentikan berputar, karena digerakkan oleh air; namun semuanya tergantung pada si penggiling yang punya peluang untuk menentukan apa yang akan digiling: padi bernas atau sekam. Pikiran kita manusia selalu bergiat dan senantiasa aktif “menggiling” apa saja yang diterima, tetapi tergantung pada kita bebas menentukan asupan apa yang menjadi bahan untuk digiling (bdk. St. Yohanes Kassianus, Surat kepada Leontius).
Saya ingin pesan ini mencapai dan menyemangati semua orang yang, entah dalam pekerjaan profesional atau hubungan-hubungan pribadinya, setiap hari “menggiling” banyak informasi dengan tujuan menyediakan asupan semerbak yang berguna dan baik bagi orang-orang dengan siapa mereka berkomunikasi. Saya ingin mendorong setiap orang untuk terlibat dalam upaya membangun komunikasi yang konstruktif, menampik prasangka terhadap orang lain dan menggalakkan budaya perjumpaan, seraya membantu kita semua untuk memandang dunia di sekitar kita dengan realistis dan dengan iman.
Saya hendak meyakinkan kita semua untuk segera memutuskan lingkaran setan kecemasan dan menghentikan spiral ketakutan yang timbul lantaran senantiasa berkutat pada “berita-berita buruk” (peperangan, terorisme, skandal dan semua jenis kegagalan manusiawi). Yang saya maksudkan bukan soal tidak ikut terlibat dalam penyebaran informasi sesat yang mengabaikan tragedi penderitaan manusia. Juga bukan soal tidak ikut terlibat dalam penyebaran optimisme naif yang membutakan mata pada skandal kejahatan. Sebaliknya, saya menyarankan bahwa kita semua untuk terlibat aktif dalam bekerja sama untuk mengatasi perasaan kecewa, tidak puas dan putus asa yang kadangkala dapat melahirkan kelesuan, apatisme, ketakutan dan pemikiran bahwa kejahatan tidak terelakkan lagi. Lebih dari itu, dalam sebuah industri komunikasi yang berpikir bahwa berita baik tidak memiliki nilai jual, dan di mana tragedi penderitaan manusiawi serta misteri kejahatan dengan mudah menjadi tontonan yang menyenangkan, orang terperangkap dalam godaan itu yang membuat hati nurani kita menjadi tumpul atau terjerumus pada kekecewaan akut.
Saya ingin mengaarahkan pandangan kita pada upaya pencarian akan sebuah gaya model komunikasi yang terbuka dan kreatif, yang tidak pernah berupaya mengagungkan kejahatan, tetapi sebaliknya memusatkan pada solusi dan mengilhami sebuah pendekatan yang positif serta bertanggung jawab pada pihak penerimanya. Saya meminta agar setiap orang menawarkan kepada sesamanya pada masa kini aneka alur cerita yang pada intipatinya adalah “berita kabar baik”.
Hidup ini bukan hanya suksesi nirmakna berbagai peristiwa, melainkan sebuah sejarah, sebuah kisah yang menunggu untuk diceritakan melalui pilihan lensa tafsir yang dapat memilah dan mengumpulkan data-data paling relevan. Di dalam dan dari dirinya, realitas tidak memiliki satu makna yang serupa. Semuanya tergantung pada cara kita memandang segala sesuatu, berdasarkan “lensa” yang kita pakai untuk melihatnya. Jika kita mengubah lensa itu, maka realitas itu sendiri tampak berbeda. Jadi, bagaimana kita bisa mulai membaca realitas dengan lensa yang tepat?"
Kiranya pesan Paus Fransiskus ini menjiwai kita semua dalam memandang setiap peristiwa dan pemberitaan dengan lensa "sentire cum ecclesia" dalam semangat "ecclesia semper reformanda est."