Sikap Reflektif
Ilustrasi. [Foto: Istimewa]
Peristiwa yang sama bisa dialami secara berbeda oleh beberapa orang yang memiliki latar belakang yang berbeda pula.
Matahari yang terbit di ufuk Timur misalnya. Ketika seorang ilmuwan melihatnya, dia mengatakan, "Oh.. ini karena bumi berputar..."
Untuk seorang petani, ketika melihat matahari terbit, dia berkata dalam hatinya, "Ini artinya saya harus ke ladang sekarang". Lain lagi seorang beriman, ketika melihat matahari terbit dia berseru, "Pujilah Tuhan".
Peristiwa yang satu dan sama bisa dialami dan diartikan secara berbeda oleh orang yang berlainan latar belakang, berlainan cara pandang, cara merasa dan keyakinan pribadi. Keragamanan dalam memandang satu peristiwa itulah yang kita namakan sudut pandang, angle, perspektif.
Kita bisa berdiskusi tentang satu peristiwa atau fakta dari berbagai sudut pandang dan sudah tentu hasil diskusi sangatlah kaya. Kekayaan dari hasil diskusi tersebut menunjukan kekayaan nilai yang tersembunyi di balik sebuah peristiwa.
Namun peristiwa sebagai sebuah fakta atau realitas, in se memiliki arti dalam dirinya sendiri, arti sejati dan original yang tidak diberikan oleh pihak luar yang menafsir dari berbagai sudut pandang dan latar belakang.
Kita juga bisa berdiskusi tentang aneka sudut pandang dalam mengartikan satu peristiwa, namun dengan kesadaran bahwa keragamanan sudut pandang tersebut memuat kebenaran dalam dirinya sendiri. Karena itu, kita tak bisa dengan enteng menghakimi suatu cara pandang dan cara merasa yang berbeda dengan sikap dan pendirian kita.
Kita tak sepenuhnya bisa menyingkapkan rahasia di balik sebuah pengalaman subyektif dari si penilai. Mengapa orang ini mengalaminya secara berbeda dan mengartikannya berlainan dengan pengalamanku, itu masuk dalam kategori rahasia dan tentang hal misteri tersebut tak perlu didebatkan karena menyentuh ruang subyektif.
Karena itu, diskusi yang mendalam tentang realitas suatu peristiwa akan terjadi ketika yang berdiskusi melihat peristiwa dari dalam, dari hakikat peristiwa itu in se.
Itu artinya peristiwa ditelanjangi dan dibiarkan berbicara tentang dirinya sendiri. Setiap subyek atau pribadi yang berdiskusi harus berani meninggalkan sudut pandang, cara merasa dan kepentingannya yang subyektif.
Pengalaman 'serupa' atau mirip berkaitan dengan peristiwa yang terjadi mungkin membantu mengartikan peristiwa tersebut. Namun, tetap harus disadari bahwa peristiwa ini berbeda dengan peristiwa serupa yang telah terjadi atau telah menyatu dalam pengalaman.
Kesadaran seperti ini harus dibangun agar kita tidak dengan gampang memproyeksikan pengalaman kita yang serupa dalam mengartikan realitas dari peristiwa yang lain.
Proyeksi seperti ini bisa terjadi terutama kalau orang tidak mengambil jarak dengan diri dan pengalamannya sehingga cenderung gegabah mengamini atau menghakimi peristiwa yang terjadi di depan mata.
Hal ini juga bisa terjadi karena orang sudah dikuasai emosinya sehingga secara emosional mengartikan peristiwa yang 'in se' punya arti dalam dirinya sendiri.
Di sini penting sikap refleksi-kritis agar dapat mengambil jarak dengan diri, cara pandang, cara merasa serta pengalaman subyektif-pribadi.
Sesungguhnya dalam cara kita memandang dan mengartikan peristiwa, tergambar tentang diri kita, siapa kita, disposisi kita, kematangan dan kadar intelektualitas kita.
Apakah dalam memandang dan mengartikan realitas suatu peristiwa kita membiarkan peristiwa itu secara telanjang berbicara tentang dirinya sehingga peran kita hanya memetik artinya atau persepsi subyektif kita mendominasi penafsiran atas peristiwa sehingga kitalah yang memberikan arti (baru) pada peristiwa?
Mari kita mengambil posisi sebagai seorang yang reflektif dalam memandang setiap peristiwa dan menghindari sikap gegabah mengadili sebuah peristiwa hanya karena kita gagal mengambil jarak dengan diri dan pengalaman subyektif kita.
Mari kita membiarkan peristiwa berbicara tentang dirinya dan mengerem kecenderungan untuk berbicara dari jauh hanya bermodalkan penafsiran subyektif sebelum masuk lebih jauh ke dalam.