TPDI: Tahan Setya Novanto, Demi Selamatkan DPR!

Selasa, 29 Agustus 2017 | 10:51 WIB
Share Tweet Share

Petrus Selestinus (kiri) dan Setya Novanto. [foto: repro]

[JAKARTA] Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus, mengatakan, di atas kertas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pasti akan melakukan penahanan terhadap Ketua DPR RI Setya Novanto, pada waktu yang tepat.

Penahanan itu akan disertai dengan pelimpahan berkas perkara Hasil Penyidikan ke Jaksa Penuntut Umum (JPU), untuk segera dilimpahkan ke proses penuntutan pada Pengadilan Tipikor di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Jika skenario ini yang terjadi, demikian Petrus, maka di satu pihak KPK sesungguhnya sedang menyelamatkan DPR dari krisis kepercayaan publik yang semakin meluas. Apalagi, saat ini DPR RI dipimpin oleh seorang tersangka korupsi besar e-KTP.

"Usia jabatan Setya Novanto sebagai Ketua DPR RI juga akan berakhir menyedihkan, karena semua mimpi-mimpi politik dan karir politik yang sudah di puncak Lembaga Tinggi Negara, berakhir secara tragis demi hukum, sesuai dengan ketentuan pasal 87 UU MD3 Tahun 2014," ujarnya, di Jakarta, Selasa (29/8/2017).

Dengan demikian, maka 3/4 kekuatan penyangga untuk bertahan bagi Setya Novanto dalam kancah politik nasional sudah rontok dan hanya tersisa 1/4 kekuatan yang masih dimiliki yaitu sebagai Ketua Umum DPP Golkar, dengan status tersangka atau terdakwa dan berada dalam Rumah Tahanan (Rutan).

"Pertanyaan yang muncul, apakah jabatan Ketua Umum Partai Golkar di pundak Setya Novanto, masih layak dipertahankan oleh para kader Partai Golkar?" tanya Petrus.

Menurut dia, jika mencermati substansi pasal-pasal dalam UU MD3, maka sesungguhnya UU MD3 itu mempersulit pemberhentian seorang anggota DPR dari jabatannya. Kecuali jika seorang anggota DPR dikenakan penahanan sebagai terdakwa atas tindak pidana yang ancaman pidananya 5 (lima) tahun atau lebih, maka akan lebih mudah.

Merujuk UU MD3, lanjut Petrus, apabila dalam waktu dekat ini Setya Novanto ditahan dalam tahapan penyidikan dan masih berstatus tersangka, maka penahanan itu belum berimplikasi kepada pencopotan jabatan Setya Novanto sebagai anggota dan ketua DPR RI.

"Kecuali kalau atas dasar pertimbangan moral dan politik yang strategis Partai Golkar menarik Setya Novanto dari keanggotaannya di DPR atau diusulkan pemberhentiannya oleh Partai Golkar (menurut pasal 87 UU MD3)," tegas Petrus.

Bagi Petrus, kondisi ini sulit diterima akal sehat publik. Sebab para pemangku kepentingan di DPR, masih membiarkan seorang Setya Novanto dengan kondisi "devisit kapasitas negarawan", tetap menjabat ketua DPR RI dengan status tersangka mega korupsi yang melekat dalam dirinya.

Ini ironis, mengingat korupsi yang terjadi dan dituduhkan dilakukan oleh Setya Novanto, adalah perbuatan korupsi lama yang terjadi saat Setya Novanto menjabat sebagai ketua Fraksi Golkar DPR RI tahun 2012, dengan kekuatan politik yang cukup besar dan berada dalam koalisi dengan Pemerintahan SBY ketika itu.

"Sesungguhnya jika fungsi pengawasan DPR dapat dilakukan dengan baik, maka kejahatan korupsi e-KTP tidak akan terjadi. Di sini sebenarnya Setya Novanto mengebiri fungsi pengawasan DPR, lalu menyalahgunakan fungsi pengawasan itu untuk tujuan lain di luar tujuan menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN," ucapnya.

Ia menambahkan, dalam kondisi terjadi defisit kapasitas serta tidak memiliki kualifikasi sebagai negarawan, lagi-lagi karena sudah berstatus tersangka, maka DPR RI sesungguhnya berada pada titik nadir kehancuran moral, kehancuran integritas dan bahkan kehancuran legitimasi publik.

"Karenanya, diperlukan langkah penyelamatan lembaga dengan dukungan penuh dari publik. Namun publik pun menunggu dengan harap-harap cemas langkah progresif KPK untuk memberkas perkara Setya Novanto untuk dilimpahkan ke Penuntutan di Pengadilan Tipikor seraya menunggu pemberhentian Setya Novanto dari seluruh jabatan negara yang melekat dalam dirinya," kata Petrus.

Dalam Surat Dakwaan Jaksa KPK, imbuhnya, baik atas nama terdakwa Irman dan Sugiharto maupun Surat Dakwaan atas nama Andi Narogong, partai politik yang memiliki wakil di DPR disebut-sebut mendapatkan aliran dana hasil korupsi e-KTP dalam jumlah ratusan miliar.

Partai Golkar disebut menerima Rp.150 miliar, Partai Demokrat Rp.150 miliar, PDIP Rp.80 miliar dan partai lainnya mendapatkan sebesar Rp.80 miliar.

Jika untuk aliran dana korupsi e-KTP yang mengalir ke Partai Golkar, Demokrat dan PDIP dan lainnya ini terbukti, kemudian oleh KPK diproses dalam perkara tersendiri, maka bisa dibayangkan untuk berapa lama Setya Novanto bolak balik ke KPK dan Pengadilan Tipikor serta jika terbukti terlibat untuk berapa lama mendekam dalam penjara.

"Jika saja tuduhan ini terbukti, maka predikat yang paling tepat disematkan kepada Setya Novanto adalah 'penghancur fungsi representasi rakyat', karena dampak yang ditimbulkannya adalah meluasnya krisis kepercayaan rakyat terhadap DPR RI, setidak-tidaknya DPR dicap sebagai mesin uang bagi Setya Novanto untuk memperkaya diri dan kawan-kawannya serta sejumlah korporasi kroninya," tandas Petrus.

Bagi Petrus, dengan seabrek tuduhan dan tuntutan ini maka sulit rasanya lembaga DPR RI mendapatkan kembali kepercayaan masyarakat, akibat dipimpin oleh sesorang Setya Novanto dengan kualifikasi defisit kapasitas sebagai "negarawan".

Editor: San Edison


Berita Terkait

Hukum

Hari Ini, KPK Periksa Sandiaga Uno

Selasa, 23 Mei 2017
Hukum

Sandiaga Uno Penuhi Panggilan KPK

Selasa, 23 Mei 2017

Komentar