Peristiwa Luther, Peristiwa Kita: Menyambut 5 Abad Reformasi Luther

Kamis, 13 Juli 2017 | 16:56 WIB
Share Tweet Share

"Musa Jerman", karya teranyar Prof. Dr. A. Eddy Kristiyanto OFM, cs, menyambut lima abad Reformasi Agama Martin Luther [foto: yonlesek]

Tulisan ini merupakan apresiasi atas sebuah buku bernas teranyar karya Prof. Dr. A Eddy Kristiyanto OFM, cs,  berjudul "Martin Luther Musa Jerman". Diterbitkan oleh Penerbit OBOR, Jakarta, 2017,  dalam kerja sama dengan BPK Gunung Mulia. Tebal : xvi + 332 halaman. 

***

Oleh: Agustinus Tetiro*


Satu hal yang perlu diketahui dari awal bahwa pembacaan dan penulisan buku ini menempatkan sejarah hidup dan pengalaman Martin Luther serta interaksi dan penafsiran atasnya sebagai peristiwa. Ini penting karena pemimpin proyek buku ini adalah seorang profesor sejarah gereja dan seorang biarawan Fransiskan (OFM).

Buku ini mengajak kita untuk berpikir dan mengambil ikhtiar tindakan secara historis serentak teologis. Artikel-artikel dalam buku ini ditulis oleh dosen dan para mahasiswa filsafat dan pembelajar teologi dengan mengamini satu hal: sejarah sebagai locus philosophicus et theologicus. Sejarah adalah tempat untuk kegiatan berpikir dan berteologi.

Artikel pertama bertajuk “Berdiri di Antara” (Eddy Kristianto) menginformasikan kepada kita latar belakang sejarah awal gerakan reformasi Martin Luther di Jerman. Tidak melulu tentang ketidakpuasaan pribadinya pada praktik pastoral Gereja Katolik Jerman terutama indulgensi, tetapi juga soal relasi pemimpin agama di Vatikan dan kekuasaan umum di Jerman.“

Secara personal saya mengidentifikasikan Martin Luther dan persoalannya di hadapan autoritas Gereja dan pemimpin sipil Jerman, sebagai berdiri di antara” (hlm.4)

Berdiri di antara tidak berarti Luther terombang-ambing antara Vatikan dan Jerman. Tidak juga berarti Luther menjadi ‘alat’ pemerintahan Jerman dan ‘kerikil” dalam sepatu otoritas Roma. Tindakan Luther adalah pilihan sikap yang bebas dan memiliki muatan moral yang dalam. “Hier steh’ich, Ich kann nicht anders” (Di sini saya berdiri, saya tidak dapat berbuat yang lain). Tegas Luther.

Komposisi artikel-artikel dalam buku ini, yang merujuk pada “The Cambridge Companion to Martin Luther” suntingan Donald K McKim (2003) harus diakui beragam dan relatif lengkap jika dilihat dari berbagai tema yang diangkat dan usaha untuk menafsirkannya dan menarik relevansinya bagi konteks hidup beragama dan sosial di Indonesia.

Ada kisah perjalanan rohani Luther (hlm. 39-57), yang menempatkannya sebagai penerjemah dan penafsir (hlm. 59-88) serta pengkotbah (89-110). Eddy Kristiyanto menempatkan satu sela yang sangat meyakinkan “Memahami Injil: Sebuah Sisipan” (hlm. 111-128) yang melihat dengan sangat ilmiah dan mendalam tentang pemahaman kabar gembira Tuhan tersebut pada refleksi iman dua tokoh keagamaan paling berpengaruh versi majalah Time (1994): Santo Fransiskus Asisi dan Martin Luther. Dua artikel sesudahnya berbicara tentang refleksi atas iman dan kontribusi yang bisa ditarik darinya (hlm. 129-168).

Tidak melulu memotret konsistensi internal pengajaran dan pilihan sikapnya, peristiwa Martin Luther juga mempunyai relevansi sosial mulai dari etika sosial, politik hingga pembahasannya tentang Lutheran di Indonesia (hlm. 169-298).

Dua artikel terakhir dari Eddy Kristiyanto melihat kontribusi reformasi Martin Luther dan peluang bagi kita untuk semakin memahami dan menghidupi keberagaman pilihan hidup beriman dan beragama yang ada. Artikel-artikel ini menyingkapkan kepada kita bahwa “reformasi Martin Luther tidak pernah muncul secara kebetulan” (hlm. 304).

Menarik bahwa Eddy Kristiyanto menekankan pada keharusan memberikan imbuhan nama Martin Luther di depan istilah reformasi untuk mengatakan bahwa peristiwa tersebut bukanlah hal yang baru, karena dari awal sejarahnya Gereja Katolik memang selalu berubah dalam pengertian “aggiornamento”. Ecclesia semper reformanda et reformata est.

Penekanan lain yang perlu diperhatikan bahwa Luther tidak bermaksud memecah belah Gereja. Semua usaha pemahaman terhadap injil dan kegiatan Luther “...tidak pernah menjauhkan dirinya dari bentuk komunal dan sakramental Gereja. Di dalam perspektif ini, kiranya perlu ditempatkan signifikansi terminologi ini, “Musa Jerman Katolik”, ....” (hlm. 311)

Buku ini layak dibaca oleh khalayak ramai sebagai sebuah buku yang terbuka dan membuka pemahaman kita. Keterbukaannya terlihat jelas pada pemberian kebebasan bagi agama dan umat/jemaat untuk bertemu dan ‘bertemu’ dengan semua kondisi dunia terkini seperti modernisasi dan sekularisasi dan lain sebagainya.

Buku ini jauh dari kesan menggurui serentak mempunyai daya inspiratif yang sangat kuat. Kendati memakai kerangka studi sejarah yang bisa saja terjebak pada kekakuan dalam pemaparan, buku ini malah disajikan dengan bahasa yang enak dimengerti dan suka dipahami.

Disiplin ilmu sejarah dan hermenetik ilmiah sangat terasa pada tulisan-tulisan Eddy Kristiyanto. Sementara itu, kelincahan yang bebas namun tetap dalam koridor ilmiah dengan gagasan-gagasan yang tidak kalah mengejutkan bisa kita temui pada tulisan-tulisan.***

* Penulis adalah jurnalis BeritaSatuTV

Editor: Elnoy


Berita Terkait

Komentar