GOR Manggarai Barat Bagai Rumah Hantu: Minus Prestasi
Kondisi toilet di GOR Mabar [foto: itho umar]
Nirmakna dan mubajir adalah kata yang tepat untuk membahasakan kondisi terkini Gedung Olah Raga (GOR) Manggarai Barat (Mabar) yang terletak di samping gedung DPR Mabar, Labuan Bajo. Nasib gedung itu sangat mengenaskan. Tak terurus. Ia lebih mirip rumah hantu yang menakutkan.
***
Sesuatu akan bermakna ketika manusia "menjamahnya" secara kreatif. Sebuah bangunan (gedung) misalnya, memiliki arti jika manusia menggunakannya untuk pelaksanaan pelbagai aktivitas manusiawi.
Bangunan fisik diberi arti oleh penghuni atau pemiliknya. Bangunan mewah akan kehilangan arti ketika tidak dimanfaatkan secara berkala dan bertanggung jawab.
Nirmakna dan mubajir adalah kata yang tepat untuk membahasakan kondisi terkini Gedung Olah Raga (GOR) Manggarai Barat (Mabar) yang terletak di samping gedung DPR Mabar, Labuan Bajo. Nasib gedung itu sangat mengenaskan. Tak terurus. Ia lebih mirip rumah hantu yang menakutkan. Gedung yang dibangun dengan dana publik yang fantastis itu harus mengalami riwayat tragis; tidak digauli dan dibiarkan sepi.
Wajah bangunan yang kusam itu sesungguhnya menggambarkan banyak hal tentang situasi pembangunan politik dan kepemimpinan di kabupaten ini. Bahwasanya "kesepian" yang dialami oleh gedung itu merupakan akibat dari karut-marutnya konsep pembangunan politik kita.
Para pengambil kebijakan de fakto hanya bernafsu untuk "mengadakan" bangunan, tetapi tak mampu "menatanya" secara aktif untuk pemenuhan kepentingan publik dalam bidang olahraga. Artinya, pemerintah lokal kita tidak mempunyai konsep dan tujuan yang jelas dalam mengeksekusi sebuah kebijakan.
Minus Prestasi
Secara teoritis gedung itu dipakai sebagai "lokus sentral" aneka aktivitas sport di Mabar. Para atlet lokal yang potensial dapat mengaktualisasikan potensi mereka secara reguler dan teratur di gedung ini. Gedung itu, dengan demikian bisa memfasilitasi lahirnya atlet profesional dan berprestasi di Mabar. Jika intensi ini sulit terwujud, maka yang lebih realistis adalah gedung itu merupakan tempat 'merawat kebugaran fisik" warga.
Namun, apa yang terjadi kini? Selalu ada disparitas antara teori dan praktek. Idealisme selalu bertolak belakang dengan kenyataan faktual. Alih-alih sebagai "wahana kebugaran" publik justru "kesuraman politik" yang terasa saat ini. Pemda sepertinya menderita impotensi politis dalam mengoptimalkan fasilitas publik ini.
Pertanyaan kita adalah siapa yang menginisiasi dan mengeksekusi pembangunan gedung itu? Apa misi dasar atau target utama yang hendak dicapai kala itu? Mengapa Pemda tidak mengawal perealisasian intensi mulia itu? Apa yang sebenarnya terjadi?
Padahal, gedung sudah ada. Namun aneh, kita masih sungkan dan enggan menggenggamnya. Sebuah kebijakan yang tidak brilian, bangunannya sudah didirikan, tetapi tidak dimanfaatkan secara maksimal.
GOR Mabar hanya satu contoh bagaimana kelalaian Pemda diperlihatkan secara telanjang "merawat infrastruktur publik." Tentu masih ada bangunan publik lain yang mengalami nasib serupa, tetapi tidak dikuak ke ruang publik.
Ini menjadi preseden buruk pendekatan pembangunan fisik yang kita rayakan selama ini. Ternyata ideologi pembangunan itu tidak selaras dengan karakter politik para elite kita.
Gauli gedung itu sekarang
Kita tak pernah lelah dan jedah menyadarkan pemerintah agar cerdas memanfaatkan modal publik yang sudah terpakai. Salah satunya adalah pembangunan Gor Mabar itu. Gor itu mesti mendatangkan "berkat" bagi publik, bukan malapetaka.
Kita tak ingin gedung itu bertransformasi menjadi tempat angker dan istana ideal bagi mereka yang doyan dengan tindakan asusila. Gunakan gedung itu sebagaimana mestinya sekarang juga.
Kemauan politik (political will) pemda akan teruji di sini. Apakah top leader kita mempunyai kecakapan istimewa dalam menata wajah kabupaten ini, melalui pemanfaatan fasilitas publik secara cerdas dan tepat.
Penulis: Itho Umar