Mulyanto: UU Omnibus Law Bertentangan dengan Reformasi
Dr H Mulyanto, Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI
[JAKARTA, INDONESIAKORAN.COM]-- Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) inisitif Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang tengah 'dikebut' mencabut kewenangan Pemerintah Daerah (Pemda) secara drastis.
"RUU lebih 1.000 halaman itu sangat sentralistik," ungkap Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI bidang Industri dan Pembangunan, Dr H Mulyanto dalam keterangan persnya yang diterima awak media, Sabtu (8/8).
Dikatakan anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI ini, UU Omnibus Law membuka jalan diberlakukan kembali sistem sentralisasi kekuasaan dimana semua kewenangan diatur dan ditentukan Pemerintah Pusat. Pemda hanya menjadi pelaksana teknis.
Ketentuan ini dinilai Mulyanto bertentangan dengan semangat reformasi yang menginginkan adanya pembagian kekuasaan atau kewenangan secara harmonis antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan demikian, Pemerintah Daerah didorong untuk lebih otonom dalam menentukan program pembangunan wilayah secara mandiri berdasarkan potensi yang ada.
"Karena itu, Fraksi PKS mendesak Pemerintah tidak memutar jarum sejarah ke era sentralistik. Melalui RUU Omnibus Law Ciptaker berbagai bentuk perizinan yang semula menjadi kewenangan Pemda seluruhnya ditarik menjadi kewenangan Pusat," kata Mulyanto.
Wakil rakyat dari Dapil III Provinsi Banten ini melihat, sedikitnya ada dua isu penting terkait peran Pemda yang diatur dalam RUU Ciptaker ini. Pertama, terkait dengan tugas pokok dan fungsi. Kedua terkait dengan kewenangan perijinan berusaha.
Terkait tugas pokok dan fungsi Pemda, RUU Ciptaker ini memangkas peran Pemda berupa: Dihapusnya tupoksi Pemda dalam penyelenggaraan Urusan Konkuren; Hilangnya kewenangan pemda dalam penyelenggaraan tata ruang daerah. Padahal, kedua ketentuan ini menjadi jantung dalam penyelenggaraan desentralisasi pemerintahan di daerah.
Kewenangan Pemda dalam pembangunan sektor di daerah habis terpangkas, karena ditariknya penyelenggaraan: kegiatan minerba; pengelolaan kepariwisataan; pengelolaan wilayah pesisir; pembinaan, pengelolaan data terintegrasi usaha perkebunan; pengelolaan transporasi; sumber daya air; jasa konstruksi; perumahan dan kawasan pemukiman, rumah susun; penyelenggaraan pasar rakyat, pasar swalayan, perkulakan dll; serta penyelenggaraan kelistrikan dan lain-lain.
Terkait dengan kewenangan perizinan, RUU Ciptaker, menghapus kewenangan Pemda hampir di seluruh sektor dalam 11 klaster, antara lain: perizinan pemanfaatan ruang; Izin Mendirikan Bangunan (IMB); transportasi; Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA); pengelolaan limbah B3; penanaman modal; usaha perkebunan; pertambangan minerba, dan lain-lain.
"Terkait dengan perizinan di daerah, ternyata juga dikritisi oleh Bank Dunia. Dalam laporan perekonomian Indonesia yang dirilis Juli ini dengan judul Indonesia Economic Prospects: The Long Road to Recovery, Bank Dunia menilai terdapat beberapa klausul dalam RUU Omnibus Law Ciptaker yang berpotensi merugikan ekonomi Indonesia, salah satunya adalah ketentuan tentang perizinan."
Dalam aspek perizinan, World Bank menyorot klausul yang tidak lagi mengkategorikan usaha farmasi, rumah sakit, pendirian bangunan sebagai kegiatan berisiko tinggi, termasuk juga relaksasi syarat-syarat perlindungan lingkungan yang berpotensi mengganggu kehidupan masyarakat. "Secara umum, World Bank menilai kegiatan usaha yang selama ini terhambat oleh perizinan, sesungguhnya bukanlah dalam aspek regulasi, melainkan oleh korupsi dan rumitnya proses administrasi perizinan," imbuh Mulyanto.
"Jadi, terkait perizinan ini yang utama bukan sekedar memindahkan kembali kewenangan dari daerah ke pusat, tetapi membangun budaya birokrasi yang efisien; sistem yang transparan, akutabel, dan berbasis merit; serta SDM yang amanah dan profesional," jelas Mulyanto.
Politisi senior PKS ini berpendapat, dicabutnya seluruh kewenangan daerah, RUU Omnibus Law ini merusak tatanan demokratisasi serta prinsip desentralisasi dan otonomi daerah. Kondisi ini bertentangan dengan ruh konstitusi dalam pasal 18 ayat 2 UUD NRI tahun 1945, yang menyatakan bahwa pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Ini soal serius, yang tidak boleh disepelekan. Apakah pemerintah pusat dapat mengurus semua kewenangan dan perizian yang disentralisasikan? Lalu, bagaimana dengan pemungsian SDM daerah? Ketika pendapatan daerah berkurang, apakah akan dikompensasi dengan DAU atau DAK atau dana bagi hasil sumber daya alam? "Jangan sampai nanti setelah RUU ini disetujui, Pemda mogok, tidak menjalankannya di lapangan, terjadi kekosongan regulasi di daerah, serta berbagai program pembangunan berakhir dengan kemandegan," seru Mulyanto.
Mulyanto mengingatkan eksperimentasi bernegara sejak Era Reformasi salah satunya terkait dengan penataan format hubungan pusat-daerah, pasca runtuhnya pemerintahan sentralistik Orde Baru melalui beberapa kali revisi UU Pemda (UU No: 23/2014). Karena itu, upaya untuk menjaga keseimbangan harmonis hubungan pusat-daerah adalah sebuah langkah penting dan strategis dalam mengelola demokrasi di negeri Nusantara dengan spent of controll yang luas ini.
[A/3]