Tunda RUU Ciptaker, Suryadi: Jokowi Harus Fokus Tangani Covid-19
suryadi
[JAKARTA, INDONSIAKORAN.COM]-- Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekonomi Indonesia pada kuartal II/2020 minus 5,32 persen. BPS juga mencatat dari 17 sektor, transportasi dan pergudangan yang mengalami penurunan paling tajam. Kedua sektor ini mengalami kontraksi 30,84 persen.
Penurunan tersebut, kata anggota Komisi V DPR RI dari Dapil II Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Suryadi Jaya Purnama dalam keterangan tertulis kepada Indonesiakoran.com, Kamis (6/8) pagi, wajar terjadi karena ada penurunan mobilitas manusia akibat dari adanya wabah pandemi virus Corona (Covid19).
Namun, kondisi ini jangan dibiarkan terjadi terus menerus karena dapat mengakibatkan bangkrutnya perusahaan transportasi seperti yang telah terjadi dimana sejumlah maskapai penerbangan dinyatakan pailit. Ini tentu saja dapat berdampak kepada tenaga kerja di sektor transportasi.
Di Indonesia, jelas wakil rakyat membidangi transportasi, infrastruktur dan Perumahan Rakyat ini, transportasi udara mengalami penurunan yang paling tajam (minus 80,23 persen), diikuti kereta api (minus 80,23 persen). Menurut BPS, penyebabnya karena imbauan pemerintah Work From Home (WFH) dan SFH sebagai salah satu langkah pencegahan penyebaran Covid-19, larangan mudik Idul Fitri 1441 Hijriah serta penurunan aktivitas kargo pada masa pandemi Covid-19.
Menurut politisi Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut, hal ini memang sudah terlihat sebelumnya. Pada transportasi udara misalkan, jumlah penumpang maskapai Garuda Indonesia turun drastis hingga 90 persen sehingga harus melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sekitar 150 pilot perusahaan plat merah itu. Lion Air Group memutuskan tidak memperpanjang kontrak 2.600 karyawan.
Pada transportasi kereta api, Maret 2020 pendapatan tunai PT Kereta Api Indonesia (KAI) turun ke Rp 890 miliar dan berlanjut hingga Mei Rp 870 miliar. Nasib PT KAI masih beruntung, sebab Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kereta Api ini masih mendapatkan dana talangan dari Pemerintah Rp 3,5 triliun.
Angkutan bus jumlah penumpangnya turun hingga 75. Bahkan ada yang sampai 100 persen. Banyak perusahaan angkutan yang tidak beroperasi terutama bus Antar Kota Antar Propinsi (AKAP). Padahal angkutan bus ini tidak mendapatkan sokongan dana dari Pemerintah. Kebijakan Pemerintah yang paling memungkinkan di sektor ini hanya penundaan pembayaran pajak dan retribusi lainnya.
Melihat kenyataan demikian, kata laki-laki kelahiran Lombok, NTB, 25 Pebruari 1974 tersebut, seharusnya Pemerintah fokus pada solusi penanganan Covid-19 karena satu-satunya cara yang dapat memulihkan mobilitas warga adalah dengan memberikan rasa aman agar mereka punya keberanian beraktivitas.
Masalah aman ini yang belum dapat diberikan Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Hal ini terjadi karena Pemerintah belum maksimal melakukan penanganan Covid19. Dan, ini terkonfirmasi dari suatu penelitian yang dilakukan Korsorsium perusahaan investasi internasional, Deep Knowledge Group terkait daftar 100 negara yang dianggap aman dari wabah pandemi Covid-19.
Daftar ini dibuat berdasarkan 130 parameter berbagai macam data mulai dari efisiensi karantina, kemampuan pengawasan serta deteksi, kesiapan sistem kesehatan, hingga efisiensi kerja pemerintah. Dan, menurut penelitian tersebut, Indonesia menempati peringkat 97, di atas Bahama, Laos, dan Kamboja. Bahkan menurut Universitas Oxford, bahkan Indonesia mendapat nilai D, paling rendah di antara semua negara ASEAN, bahkan Kamboja.
Dari penilaian yang dilakukan terlihat, efisiensi kerja Pemerintahan Jokowi ternyata masih buruk. Padahal dengan banyaknya keterbatasan Indonesia di bidang kesehatan, dibutuhkan kinerja yang luar biasa dari Pemerintah untuk penanganan Covid-19 dan juga untuk menumbuhkan ekonomi.
Penilaian ini dirasa tepat, lanjut Suryadi, jika melihat langkah-langkah Pemerintah yang justru menempatkan pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) menjadi prioritas. Padahal RUU inisatif dari Pemerintahan Jokowi tersebut mendapat banyak penolakan berbagai komponen masyarakat.
Selain itu, jelas Suryadi, pengeluaran atau belanja pemerintah seperti halnya BUMN transportasi yang mendapat dana talangan, yakni PT KAI dan Garuda Indonesia. Pemerintah juga diharapkan memberikan relaksasi pada sektor transportasi lain seperti angkutan bus (darat) maupun angkutan laut. Hal ini karena di tengah ketidakpastian pandemi Covid-19, sulit mengatur supply and demand selama pembatasan kapasitas dan penerapan protokol masih berjalan.
Dari data BPS di atas, mantan Menteri Keuangan (Menkeu) M Chatib Basri menguatirkan, pengeluaran pemerintah minus 6.9 persen. Itu artinya, belanja pemerintah yang seharusnya bisa exogenous (memiliki pengaruh terhadap variabel yang lain, namun tidak dipengaruhi variabel lain) malah menjadi pro cyclical (bergerak sama dengan pergerakan ekonomi, dalam hal ini ikut negatif).
Karena itu, kata Suryadi. Fraksi PKS DPR RI berpendapat, seharusnya Pemerintah segera menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja yang terbukti tidak memberikan sentimen positif kepada masyarakat dan terus berusaha meningkatkan respon terhadap penanganan Covid19 dengan cara menerapkan isolasi dan memberi bantuan sosial ke daerah yang masih merupakan zona merah untuk memutus semaksimal mungkin rantai penyebaran.
Untuk sektor ekonomi, Pemerintahan Jokowi juga harus fokus kepada program yang berdampak langsung ke peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) dan memperbanyak serta segera melaksanakan proyek padat karya secara maksimal di daerah zona hijau. "Dengan begitu, diharapkan dapat membantu meringankan dampak Covid19 ke sektor-sektor yang mengalami penurunan secara nasional, termasuk diantaranya sektor transportasi," demikian Suryadi Jaya Purnama. [A/3]