Tidak Masuk Logika. Mulyanto: Utang PLN Sudah Membahayakan
laporan
[JAKARTA, INDONESIAKORAN.COM]-- Kabar PT Perusahaan Listrik Negara (PLN/Persero) yang memiliki utang hingga Rp 500 triliun mengundang perhatian publik termasuk anggota Komisi VII DPR RI yang membidangi Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) serta Lingkungan Hidup (LH), Dr H Mulyanto M.Eng.
Utang yang luar biasa besar perusahaan plat merah tersebut bukan hanya tidak masuk logika dan itu sudah sangat membahayakan keberadaan perusahaan listrik milik negara ini. Sebab itu, Mulyanto mendesak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) segera turun memeriksa keuangan PT PLN melalui audit atau Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu (audit investigatif-red).
Dalam keterangan kepada Indonesiakoran.com, Senin (29/6) pagi, Wakit Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bidan Industri dan Pembangunan itu mengatakan, audit BPK perlu segera dilaksanakan untuk mengetahui secara menyeluruh dan mendasar akar masalah keuangan PT PLN. "Dari hasil audit tersebut, dapat dibangun rekomendasi konstruktif dan sistematis untuk merancang strategi dan langkah penyehatan PLN ke depan. Tidak cukup dengan langkah instan setiap tahun, berupa permintaan suntikan dana kompensasi dari Pemerintah," jelas Mulyanto.
Legislator dari Dapil III Provinsi Banten tersebut menambahkan, dalam kondisi keuangan negara yang tertekan seperti sekarang, PLN sebaiknya melaksanakan renegosiasi dengan pihak pembangkit listrik swasta untuk meninjau ulang klausul Take Or Pay (TOP). TOP adalah kesanggupan PLN membeli berapapun jumlah listrik yang dihasilkan pembangkit swasta untuk selanjutnya disalurkan kepada pelanggan. Klasul itu sangat memberatkan dan bisa menjadi salah satu penyebab kacau balaunya keuangan PLN.
Untuk itu PLN perlu mengajak produsen listrik swasta membangun kesetiakawanan menanggung beban (sharing the pain) atas kondisi perlistrikan yang drop karena musibah nasional pandemi virus Corona (Covid-19). "PLN harus berani meminta penyesuaian kesepakatan kerjasama dengan produsen listrik swasta," jelas ahli nuklir lulusan S3 Tokyo Institute of Technology (Tokodai) Jepang tersebut.
Soalnya, kata Mulyanto, angka-angka asumsi dalam perjanjian tidak sesuai kenyataan. Asumsi pertumbuhan listrik yang semula diperkirakan mencapai 7 persen, nyatanya tidak pernah beranjak lebih dari 5 persen. Selain itu juga permintaan (demand) listrik industri yang terus turun, sebab deindustrialisasi dini, semakin anjlok karena wabah Covid-19. Praktis, yang terjadi adalah surplus listrik terutama Jawa-Bali," jelas Mulyanto.
Lebih jauh, penggagas Wilayah Bebas Korupsi (WBK) di Departemen Pertanian tersebut menilai, perencanaan bisnis dan pengelolaan keuangan PT PLN tidak matang. Terbukti saat ini terjadi over supply dan menekan keuangan PLN dari dua sisi.
Pertama, sisi investasi yang tidak tepat dengan utang luar negeri yang berbasis dolar dan kedua, pembayaran atas perjanjian pembelian listrik swasta yang sebenarnya tidak diperlukan, namun harus dikeluarkan karena terkena penalti take or pay. Belum lagi, efisiensi dalam Biaya Pokok Pembangkitan (BPP) listrik PLN yang masih belum sukses. Itu terbukti BPP dari pembangkit listrik PLN ini masih lebih tinggi dibandingkan dengan listrik swasta.
"Seharusnya PLN mengerem implementasi skenario 35.000 MWe disesuaikan dengan pertumbuhan permintaan listrik. Proyek pembangunan investasi infrastruktur pembangkitan perlu dievaluasi ulang," demikian Dr H Mulyanto M.Eng. [A/3]