Tridarma Perguruan Tinggi No, Monodarma Yes!

Senin, 02 Desember 2019 | 22:13 WIB
Share Tweet Share

Feliks Tans

Oleh: Feliks Tans (Guru Besar FKIP, Universitas Nusa Cendana)

[INDONESIAKORAN.COM] Pengembalian pengeloloan pendidikan tinggi (PT) di Indonesia ke Kemendikbud ditengarai terjadi karena hasil penelitian PT tidak efektif sama sekali.  Yang dihasilkan “hanya setumpukan kertas” yang tidak berguna.  Padahal biaya penelitian bernilai triliunan rupiah. Selain itu, penangkatan Nadiem Anwar Makarim (NAM), salah satu putra terbaik Indonesia yang tidak punya “pemahaman” yang cukup mendalam tentang pendidikan,  sebagai Menteri PK oleh Presiden Jokowi Widodo karena presiden ingin mutu sumber daya manusia (SDM) Indonesia ditingkatkan sedemikian rupa sehingga mampu bersaing secara global.

Itu berarti presiden menilai para menteri pendidikan sebelumnya, walalupun mereka pakar pendidikan handal, gagal dalam dua hal itu: penelitian yang hasilnya “tidak berguna” dan mutu SDM yang rendah.

Mengembalikan PT ke Kemendikbud, tentu, tidak serta-merta membuat mutu penelitian para dosen menjadi begitu berkelas sehingga layak mendapat hadiah Nobel.  Pengangkatan NAM sebagai Kemendikbud setali tiga uang.  Artinya harus ada upaya luar biasa, bila perlu sebuah revolusi di Kemendikbud, untuk menjamin bahwa: 1) mutu penelitian dosen berkelas dunia dan tidak cuma menghasilkan setumpukan kertas tak berati; dan, 2) mutu SDM Indonesia kompetitif di panggung dunia.  Persoalannya adalah apa upaya luar biasa itu.

Penataan ulang tridarma PT sebagai rumah utama penghasil SDM kelas atas Indonesia yang berkiprah dalam segala bidang kehidupan, termasuk para guru/dosen yang, pada gilirannya, mengajar dan mendidik anak-anak Indonesia dari level pendidikan dasar hingga PT, menurut saya, perlu segera dilakukan.  Alasannya?

Tridarma PT itu telah merusak mutu SDM selama ini, baik di PT maupun di luar PT.  Bagaimana narasinya sehingga dia dianggap sebagai biang keladi rusaknya mutu SDM kita?  Tridarma PT –  pendidikan dan pengajaran, penelitian, termasuk menulis artikel ilmiah dan publikasi (lokal, nasional, dan internasional), dan pengabdian pada masyarakat – harus dilakukan oleh seorang dosen sebagai prasyarat untuk menerima gaji dan tunjangan  sertifikasi dosen (serdos).  Artinya, jika tidak melakukan tugas tersebut, seorang dosen tidak akan menerima gaji dan/atau tunjangan serdos – Sebuah ironi karena untuk anggota DPR(D), tidak ada persyratan macam-macam; yang penting sudah jadi anggota DPR(D), gaji dan tunjangan apapun pasti diperoleh; tanpa syarat.

Melaksanakan ketiga hal itu bagi dosen, tentu, menimbulkan masalah sebab ketiganya harus dilaksanakan pada saat yang bersamaan: mengajar, meneliti, termasuk menulis dan memublikasikan, dan malayani.  Ketika ketiga hal itu dilaksanakan secara bersamaan, jelas ada yang dikorbankan: mengajar atau meneliti atau melayani.

Kalau yang dikorbankan adalah mengajar karena, misalnya, dosen sibuk meneliti dan melayani masyarakat, mahasiswa, tentu, menjadi korban lanjutannya.  Mereka tidak mendapat pengetahuan, keterampilan, bimbingan, dan berbagai kegiatan lainnya yang seharusnya mereka dapatkan dari dosennya untuk meningkatkan mutu dirinya.  Jika itu terjadi, mutu mahasiswa tersebut, tentu, bisa buruk.  Yang buruk, tentu saja, tidak pernah bermutu.   Dengan itu, mutu pendidikan di negeri inipun, termasuk pada level PT, tidak sesuai harapan seperti yang terlihat pada, misalnya, banyaknya penganggur di negeri ini (saat ini 7,05 juta orang); yang bekerjapun sering tidak maksimal dan, bahkan, banyak yang terlibat korupsi; jika yang buruk itu menjadi guru, mereka, pada  gilirannya, pasti menghasilkan output dan outcome yang jelek, walaupun itu bukan penyebab tunggal.  Dalam kondisi demikian, dosenpun dipersalahkan; mereka dinilai tidak becus dalam mengajar karena, antara lain, sering absen.

Kalau yang dikorbankan adalah penelitian dan pengabdian/pelayanan kepada masyarakat karena mereka sibuk mengajar, mutu penelitian dan pengabdiannya, jelas, bobrok.  Yang dihasilkan cuma “kertas doang” seperti yang dikatakan di atas.  Artinya, ketika tridarma PT terus menjadi keharusan di negeri ini, mutu ketiga darma itu tidak akan pernah menjadi baik dan berdampak ini bagi negeri ini: mutu SDM jelek.

Untuk mengatasi hal tersebut, saya usul, biarkan dosen bertugas sebagai pengajar atau pendidik saja.  Ini berangkat dari keyakian bahwa kalau dia sungguh-sungguh, total, all out, dalam mengajar, para mahasiswanya pasti akan bermutu.

Kalau begitu siapa yang melakukan penelitian dan pengabdian? Lembaga seperti LIPI, saya kira, bisa melakukannya.  Bisa juga dosen yang memang memilih untuk menjadi peneliti karena dia merasa hebat dalam hal itu.  Itupun jumlahnya jangan  terlalu banyak.  Cukup 10-50 orang, tetapi mereka haruslah yang terbaik dari yang terbaik – dalam hal kecerdasaan, keterampilan, dan karakter – dari seluruh Indonesia.  Mereka, tentu, tidak perlu mengajar.  Cukup meneliti secara total; 100% jiwa-raganya untuk penelitian sehingga hasil penelitiannya tidak hanya berupa kertas doang, tetapi juga temuan yang membuatnya layak mendapat hadiah Nobel.

Jika ini dilakukan, pasti pendidikan kita bermutu; dosen menjadi lebih fokus dalam mengajar atau mendidik atau meneliti atau melakukan pengabdian pada masyarakat, tetapi bukan pada ketiganya sekaligus.  Sebab melakukan ketiganya secara sekaligus hanya akan membuat dosen menjadi mediocre; manusia  setengah-setengah: mengajar tidak, meneliti tidak, mengabdi tidak, menulis/memublikasikan artikelpun tidak.  Namun mereka harus melakukannya karena mereka tidak akan dapat tunjangan serdos dan gaji, jika tidak melakukannya.  Pada titik ini, dosen dan mahasiswanya mediocre.  Jika dosen dan mahasiswa kita mediocre, bangsa Pancasila inipun menjadi mediocre juga.

Dengan demikian, pemerintah, sejatinya, tetap memberikan tunjangan serdos dan gaji soerang dosen karena dia mengajar atau meneliti atau melakukan pengabdian secara sangat total; bukan karena melakukan ketiganya sekaligus tetapi secara mediocre.  Itulah sejatinya profesionalisme: melakukan satu pekerjaan saja secara total.  Ini logis sebab tidak ada orang yang berhasil karena dia harus mampu bermain bola kaki, bola voli, basket, golf, dan kriket sekaligus, bukan?  Atau menjadi pemain depan, tengah, belakang dan penjaga  gawang sekaligus dalam bermain bola kaki.  Atau menjadi peternak, petani kopi, petani sawah, petani cengkeh, dan pedagang sekaligus.

Kalau mustahil ada orang seperti itu, mengapa negeri ini tetap saja mewajibkan dosennya melakukan tridarma sekaligus?  Karena itu, kalau mau mutu SDM Indonesia mampu bersaing secara global dan/atau hasil penelitiannya berkelas, lupakan tridarma PT, biarkan para dosen negeri ini lakukan satu darma saja secara total.  Mendikbud NAM, kiranya, paham ini dan, karena itu, sepakat dengan saya: tridarma No, monodarma Yes.

Editor: Mus


Berita Terkait

Opini

Belajar dari Paskah

Minggu, 14 April 2019
Opini

Selamat Belajar, Anak-anak Indonesia!

Minggu, 14 Juli 2019
Opini

Mengatasi Masalah Bangsa

Rabu, 25 September 2019

Komentar