PEDE dan Kepercayaan Publik Terhadap Pemerintah

Senin, 12 Juni 2017 | 18:45 WIB
Share Tweet Share

Pantai Pede di Labuan Bajo, FLores, NTT. [Istimewa]

Oleh : John Kadis *


Sebelum ada asumsi apalagi prasangka negatif atas judul ini, terlebih dahulu saya jawab sendiri pertanyaannya, pertama, bahwa “public trust ( kepercayaan publik) untuk gubernur dan bupati ini ada”.

Kenapa? Karena jabatan tersebut seperti halnya Presiden, itu adalah kepercayaan rakyat yang tidak pernah pernah mati sepanjang sistem presidensiil dalam NKRI yang berdasarkan Pancasila – Bhineka Tunggal Ika ini masih hidup.

Jika tidak percaya lagi itu barang, maka NKRI bubar. Anda tidak mau NKRI ini bubar, kan? Ekstrim kita katakan bahwa gubernur, bupati, presiden itu tidak pernah mati.

Kedua, kepercayaan kepada orang/oknum manusia yang memangku jabatan presiden, gubernur dan bupati itu bisa dipercaya dan bisa tidak dipercayai publik.

Ketika orang tersebut menjalankan jabatan gubernurnya, bupatinya, presidennya sesuai kepercayaan publik, maka ia dipercaya. Sebaliknya, jika ia menyimpang dari tugas jabatan tersebut, maka tidak dipercaya. Dan ia bisa mati sesuai umurnya di bumi.

Ketika seorang gubernur meninggal misalnya, tidak tertulis “RIP, Gubernur provins NTT lantik tahun sekian dan meninggal tahun sekian. Tidak-lah bro!

De facto,  sekarang realitas Pede tanah pemprov NTT itu sedang dikuasai gubernur, dan sedang dikerjakan oleh pihak ketiga ( PT SIM, dan Hotel New Bajo Beach) atas perjanjian kerja sama antar keduanya.

Untuk kepentingan rakyat/publik? Ya tentu itu alasan gubernur dong. Tetapi apakah dengan kedudukan berkuasa atas tanah (bezit)-nya pemprov merealisir kepercayaan dari rakyat Mabar atau NTT, atau rakyat Indonesia umumnya? Apakah itu menunda semangat Mabar untuk mengoptimalkan pembangunan untuk rakyat kabupatennya?

Masa Lalu

Kepercayaan publik/rakyat  bagi pemimpin (public trust) pada sekitar abad pertengahan sesungguhnya sebuah pemikiran teoretis mengenai keabsahan pemerintah zaman itu. Tapi dalam pelaksanaannya terjadi kebablasan.

Dalam sejarah berbangsa & bernegara, kepercayaan publik bagi pemimpin/raja itu berefek pada kekuasaan raja yang diktator dan otoriter, bertindak solo sewenang-wenang sehingga rakyat jadi sengsara karena hak hidup damai-nya diabaikan.

Abad pertengahan di Eropa terekam sebagai abad puncak kegelapan demokrasi, yang kemudian mulai runtuh ketika pecah revolisi Perancis, revolusi di Inggris dan Rusia, dimana rakyat yang tertindas muak dengan rajanya.

Di Prancis, Raja Louis VI, istana mewahnya didemo & diserbu oleh rakyat yang marah, dan akhirnya ia dihukum mati dipisau guilotin.

Pada zaman itu muncul para pemikir tentang bagaimana sih hidup bernegara ini, mengapa dan bagaimana seharusnya?  Mereka mulai omong dan tinjau lagi tentang public trust itu, antara lain dalam teori hukum alam kontrak sosial.

Teori ini pada intinya adalah: rakyat yang telah memilih pemimpinnya sesungguhnya secara diam-diam telah membuat suatu perjanjian/kontrak sosial bahwa mereka telah bersedia diperintah untuk kedamaian seluruh rakyat.

Raja itu baik kok! Bahkan dikatakan sesungguhnya kekuasaan raja dari Tuhan ( theokrasi). Apa yang dikatakan rajanya adalah mutlak harus dituruti rakyat, sampai-sampai ia disebut tidak bersalah atau selalu benar (King can do no wrong, atau king is always right).

Tetapi kenapa raja bisa diktator & otoriter? Ya, raja juga manusia, nafsu egoisme tetap ada, dan ketika kebablasan maka ia berlindung di balik maksud mulia kepercayaan rakyat kepadanya. Sekuat-kuatnya ia bersembunyi, toh ketahuan juga dan pada akirnya dihukum.

Adakah kandungan king is always right dari masa lalu itu pada pribadi gubernur NTT dan Bupati Mabar kita? Saya kira tidak ada.

UU bisa disebut sebagai konsep yang disepakati pemerintah dan rakyatnya untuk diterapkan dalam rangka memenuhi kebutuhan rakyat.

Penerapan ini ini tentu dilakukan dengan senang gembira demi mencapai apa yang dicita-citakan atau diamanatkan oleh UU. Demikian pula UU no 8/2003, bahwa kepercayaan rakyat kepada pemerintahnya tidak sia-sia, karena pemerintah berbuat sesuatu dengan pemekaran kabupaten beserta apa yang harus dibutuh rakyat di kabupaten mekar.

Sebagaimana setiap UU, selalu ada kewajiban di pihak yang satu dan ada hak di pihak lainnya. Pada UU 8/2003, gubernur berkewajiban menyerahkan tanah atas nama pemprov, dan bupati Mabar berhak menerimanya.

Tanah Pede atas nama pemprov itu adalah obyek barang yang diperintahkan UU untuk diserahkan, sebagaimana dalam pasal 13, ayat 1(b) dan 2 serta Penjelasannya yang saya copas lagi huruf tebal untuk diperhatikan),sbb :

Pasal 13 (1), Untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten Manggarai Barat , Gubernur Nusa Tenggara Timur dan Bupati Manggarai sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengatur, dan melaksanakan penyerahan kepada Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat, hal-hal sebagai berikut:

(b). barang milik/kekayaan daerah yang berupa tanah, bangunan, baran bergerak, dan barang tidak bergerak yang dimiliki, dikuasai, dan/ atau dimafaatkan oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Kabupaten Manggarai yang berada dalam wilayah Kabupaten Manggarai Barat”.

(2) Pelaksanaan penyerahan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diselesaikan paling lambat dalam waktu 1(satu) tahun terhitung sejak peresmian Kabupaten Manggarai Barat dan Pelantikan Penjabat Bupati Manggarai Barat.

Penjelasan Pasal 13(1) “ .... dalam rangka tertib administrasi, diperlukan tindakan hukum berupa penyerahan dari Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Pemerintah Kabupaten Manggarai kepada Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat. ..... Dalam rangka inventarisasi dan penyerahan difasilitasi oleh Menteri Dalam Negeri.”

Faktanya hingga hari ini Gubernur belum menyerahkan tanah tersebut, padahal sudah 3x bupati Mabar mengajukan permohonan untuk penyerahan itu.

Gubernur tetap menguasainya dengan melakukan perjanjian kerjasama dengan pihak ketiga untuk mengolah lahan Pede miliknya itu, dan terakir bupati Mabar memberikan dukungan atas pengelolaan itu. Semua komunikasi di tingkat kabupaten dan porpivinsi ini tidak pernah ditembuskan kepada Mendagri selaku fasilisator penyerahan.

Sebagian rakyat Mabar protes menghadap ke Mendagri, ia kaget, ‘ koq belum terlaksana ya’, lalu ia memberikan surat perintah kepada Gubernur NTT untuk segera melakukan penyerahan itu. Sudahkah terlaksana? Sampai hari ini belum.

Kembali pada judul tulisan diatas dalam bentuk pertanyaan itu: “Pede polemik, adakah kepercayaan publik untuk gubernur NTT dan Bupati Mabar?”

Hak Atas Tanah Pede?

Apakah dengan UU 8/2003 otomatis tanah beralih dari pemprov kepada Mabar? Ada opini yang bilang ‘otomatis’, ada yang ‘tidak otomatis’. 

Yang ‘tidak otomatis’ bilang bahwa untuk peralihan hak atas tanah harus tunduk pada UU Pertanahan, yaitu tindakan hukum peralihan hak atas tanah dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, sebagaimana biasanya peralihan atas tanah untuk dapat didaftarkan di Badan Pertanahan.

Lalu yang ‘otomatis’? Alasannya karena tindakan hukum peralihan hak atas tanah pemprov tersebut lahir karena UU 8/2003, sehingga tindakan hukum peralihan hak administratif tsb sifatnya sampiran atau ikutan terhadap induknya.

Memang ada hal teknis untuk terlaksananya tindakan hukum peralihan yaitu didahului tindakan penyerahan sebagaimana jelas pada Penjelasan Pasal 13(1) UU 8/2003.

Dengan demikian maka tindakan hukum penyerahan adalah otomatis satu paket dengan tindakan hukum peralihan hak atas tanah. Seperti apa tindakan hukum penyerahan dalam rangka tertib administrasi pemerintahan du UU 8/2003 itu? Jwb.

Ya bisa saja dengan Berita Acara Penyerahan tanah. Bentuknya? Bisa dengan akta dibawah tangan dan bisa juga akta notariil, terserah pilih yang mana.

Keduanya bisa terjadi pada satu rentetan jam kerja, tetapi urutannya tetap tindakan penyerahan yang pertama, dan menit berikutnya tindakan peralihan hak.

Dengan demikian maka UU 8/2003 adalah otomatis de jure  untuk pemilikan tanah ke atas nama Mabar tersebut. Dalam hukum hak atas benda (zakenrecht) KUHPerdata, status kedudukan berkuasa atas bendanya(bezit) sudah tidak ada lagi pada pemprov, karena bezit tersebut sudah beralih ke Mabar karena UU 8/2003.

Jadi singkatnya begini: UU 8/2003 itu otomatis mencabut bezit atas tanah dari pemprov, dan mutlak gubernur harus melakukan tindakan penyerahan dan selanjutnya tindakan peralihan hak.

Fakta dan Opini

Bagaimana faktanya sejak thn 2003 hingga 2017? Gubernur FLR belum melakukan tindakan hukum penyerahan dan tindakan peralihan hak itu?

Alasannya seperti kita baca di medsos ketika menjawab pertanyaan wartawan, bahwa ‘Kabupaten induk Manggarai-lah yang melakukan penyerahan itu, dan bisa tidak ia serahkan karena alasan pemprov masih bisa mengoptimalkan tanah Pede itu untuk publik”.

Bagaimana opini hukumnya, koq gubernur sampai tidak melakukan penyerahan tersebut?  Adakah alasan hukum tidak dilakukannya penyerahan tersebut yang bisa mengabaikan UU 8/2003? Lawyer/advokat dan Law Consultant(konsultan hukum) itu beda.

Dimanapun di dunia ini, naluri lawyer selalu membela kliennya, sedangkan konsultan hukum selalu mengutamakan kebenaran hukum. Mempercayai seorang lawyer untuk suatu kebenaran hukum masih patut diragukan, tetapi mempercayai seorang konsultan hukum untuk suatu kebenaran patut diterima.

Income seorang lawyer diperoleh dari seberapa jauh ia mempertahankan dan membela hak-hak klien sampai di ruang pengadilan, dan kebenaran hukumnya ditentukan oleh hakim; sedangkan income seorang konsultan hukum diperoleh dari konsultasi di kantornya sendiri, dimana kebenaran hukum seperti dikuliahkan kepada klien.

Tapi pada zaman sekarang ini, lawyer itu merangkap konsultan hukum. Ragu atas kebenaran hukumnya? Maka orang lalu mencari konsultasi hukum itu kepada para ahlinya di perguruan tinggi.

Masih ingat kasus sianidanya Jessica Wongso? Saksi ahlinya kebanyakan dosen/guru besar dari universitas. Saya menduga bahwa gubernur FLR rupanya tidak mendapat pencerahan hukum ahli hukum dari universitas terpercaya.

Bagaimana opini hukum dari para lawyer terhadap kasus Pede menurut UU 8/2003? Ada pomeo bagi lawyer yang anda tahu, yaitu ‘tiga orang hukum bisa berbeda pendapat’, padahal seharusnya hanya satu pendapat, karena kebenaran di situ hanya satu, yaitu ‘tindakan hukum penyerahan yang dilakukan oleh Pemprov’.

Maka sindiran kepada lawyer “tiga orang bisa berbeda opini’ bukan suatu kebanggaan untuk lawyer, tetapi sesungguhnya sindiran bahwa dua dati tiganya atau ketiganya bisa mpeong( bhs Manggarai = jauh keluar dari garis utama) dengan argumentasinya sendiri-sendiri.

Putar goyang kesana kemari, kita ‘balik lagi ke laptop’( pinjam kata Tukul Arwana di tivi itu), yaitu, “untuk kasus Pede, masih adakah kepercayaan publik itu untuk seorang gubernur FLR dan seorang bupati ACD?” Anda tahu jawabannya, yang tentu tidak sama dengan jawaban saya pada awal tulisan ini. Saya sendiri tidak tahu karena belum menemukan bacaan tentang itu.

Sekali lagi, sajian fakta ini berdasarkan apa yang saya baca di medsos, WA, facebook, koran online, dan lain-lainnya. Saya tidak memegang alat bukti original, karena itu saya bisa salah kalau berita yang saya baca tenyata juga  tidak benar.

Tetapi jika bapak/ibu pelayan rakyat melihat bahwa data bahan bacaan saya dan berita-berita ini sesuai, dan penfapat ini diterima, bangkitlah untuk menegakkan kebenaran selama masih hidup ini, sehingga ada kenangan manis pada sisa hidup yang tersedia di bawah kolong langit NTT, Mabar.

Sehingga ketika mengakiri hidup di dunia ini, dengan bangga orang membaca batu nisan anda,“RIP- Requiescat in Pace, telah meninggal dalam damaaaaiiiii........ dan mungkin sambil melantunkan mazmur Raja Daud di Kitab Suci itu, doa 1x Bapa Kami dan 3x Salam Maria”.

Setelah selesai doa, masih duduk-duduk santai disitu, rokok, isap permen, kenapa? karena kangennya tidak lepas2. Hehe....!!!

Kesimpulan

Disarankan kepada Bapak FLR selaku Gubernur Pemprov NTT untuk melakukan tindakan penyerahan sesuai perintah UU no 8/2003.

Toh itu bapak lakukan sebagai gubernur, karena profit kerjasama pemprov NTT dengan pihak ketiga ( PT SIM dan pemilik Hotel New Bajo Beach) tidak untuk pemenuhan kebutuhan pribadi bapak, istri dan keluarga to?

Seberapa besar sih penilaian bapak kepada pemerintah KMB sehingga ia tidak bisa mengoptimalkan pengelolaan tanah pemerintah untuk pemenuhan kebutuhan publik? Apa untung ruginya bagi pribadi bapak & keluarga kalau dilakukan atau tidak dilakukannya perintah penyerahan oleh UU 8/2003 atas tanah milik pemprov Pede itu?

Toh Bapak FLR tidak korupsi to? Saya membaca berita-berita dugaan korupsi di NTT, bahkan propinsi NTT  tergolong korup di Indonesia, tetapi hingga sekarang ini bapak bersih dan tidak masuk penjara ‘kan?

Meminjam ucapan Ahok “saya bekerja untuk rakyat, saya melaksanakan pekerjaan sebagai gubernur untuk merealisasikan kepercayaan publik DKI kepada gubernurnya, tidak ada sedikitpun saya melakukan tugas ini dengan alasan untuk pemenuhan kepentingan diri pribadi”.

Rakyat Mabar, NTT berharap kepada bapak, mereka telah menaruh kepercayaannya kepada Bapak selaku gubernur, dan tentu Bapak akan lebih kencang dan tegas dengan nada tenor tinggi melengking ketorang NTT itu untuk mengatakan lebih daripada si Ahok.

Jika Bapak melakukan itu, rakyat NTT merasa bahwa public trust mereka tetap pada Bapak. Puji Tuhan! Dan bisa saja setelah selesai periode kedua ini, bapak istirihat, lalu periode setelah 5 tahun berikutnya mencalonkan diri lagi, maka rakyat NTT akan pilih Bapak lagi sebagai gubernur. Ya to?

Sekian.

*John Kadis, praktisi hukum, kelahiran Manggarai Barat

Penulis

John Kadis

Editor: Aven


Berita Terkait

Komentar