Fachri Hamzah, Cermin Rusaknya Mental Pejabat

Selasa, 30 Mei 2017 | 11:28 WIB
Share Tweet Share

Fahri Hamzah, Anggota DPR RI [foto: lintasnasional.com]

[JAKARTA] Belum lepas dari ingatan publik akan demo penolakan terhadap dirinya di Manado, kemarin Fachri Hamzah kembali menuai kontroversi. Seperti dikutip dari Jawa Pos, Fachri sedemikian jumawanya menjuluki dirinya sebagai penguasa. Karena merupakan penguasa, dia tak boleh dikekang-kekang aktivitasnya.

"Nomor mobil saya itu, termasuk kayak pejabat di Jogja, RI 56. Jadi, saya ini penguasa di Republik Indonesia nomor 56. Karena itu, tolong omongan saya ini tidak boleh diberedel," demikian katanya.

Perkataan ini diucapkannya tatkala tampil dalam acara Tablig Akbar Kampoeng Ramadan Jogokariyan, Jogja, Minggu (28/5/2017), menanggapi aduan dari panitia acara yang menyesalkan kepolisian tidak mengizinkan acara tersebut diliput secara live streaming. 

"Inilah negeri Indonesia tercinta, di mana kebaikan dilarang disebarluaskan, tapi kerusakan seperti live streaming perilaku LGBT dibebaskan untuk tersebar luas," katanya lagi sambil menepuk jidat. 

 Mari Menepuk Jidat Menanggapi Ucapan FH 

Bila Fachri Hamzah menepuk jidat sebagai ekspresi kesal, gemas dan mangkel atas sikap aparatur negara yang tidak membolehkan acara itu diliput secara live, publik waras setanah air justru patut melakukan tepuk jidat berjamaah guna menanggapi politisi asal NTB ini.  

Mengapa? 

Pertama, dengan pernyataannya yang bilang bahwa dia adalah penguasa dengan nomor togel 56 senegeri ini dan karenanya tidak perlu dikekang-kekang, dibredel-bredel pernyataannya, Fachri Hamzah secara tegas membuktikan bahwa dirinya menderita disorientasi jabatan sekaligus feodalistik. 

Disorientasi jabatan ialah ketidakmampuan menerjemahkan tugas dan tanggung jawab yang diemban sebagai amanah yang diwujudkan dalam pola pikir, sikap dan tindakan yang melayani.  

Negara kita ini menganut demokrasi sistem presidensial. Sistem ini mensyaratkan semua yang terlibat dalam birokrasi pemerintahan entah eksekutif, yudikatif maupun legislatif adalah mandataris-mandataris konstitusi, pelayan-pelayan negara/rakyat, bukan raja yang harus dilayani. Oleh karenanya, mentalitas feodalistik seperti dipertontonkan Fachri Hamzah yang nota bene adalah Wakil Ketua DPR RI pantas membuat kita tepuk jidat bareng-bareng.

Sederhananya, kita perlu tepok jidat semua karena lewat pernyataannya tersebut, Fachri Hamzah itu bagaikan pembantu rumah tangga (PRT) yang dipilih dan digaji oleh tuan rumah, namun di rumah majikan malah congkak tidak karuan seolah dialah tuannya. Parahnya lagi, sikap itu dipertontonkan di hadapan yang sebenar-benarnya tuan rumah. Jadi? Yuk kita tepok jidat massal deh... 

Kedua, Fachri Hamzah juga berlagak bego. Acara itu dilarang live streaming oleh kepolisian karena di antara tokoh-tokoh yang dihadirkan bersamanya di situ ada pentolan HTI, sebuah organisasi yang oleh pemerintah sudah dinyatakan dilarang dan perlu dibubarkan dari negeri ini. Tokoh-tokoh itu adalah Ketua GNPF MUI Bachtiar Nashir, Jubir Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ismail Yusanto, dan Ketua Majelis Mujahidin Irfan S Anwar.

Fachri Hamzah apa bisa menjamin bahwa isi ceramah para tokoh ini tidak akan provokatif sebagaimana biasanya selama ini? Bukankah mendingan direkam saja, tidak disiarkan secara langsung. Dengan demikian, bila hanya direkam, polisi bisa menentukan materi ceramah mana yang tidak boleh diedarkan secara luas ke publik, mana yang bisa.  

Jelas, di sini polisi sudah bersikap bijak. Masak sebagai Ketua DPR RI, ketua dari wakil kita semua sebangsa di Senayan, Fachri tidak mampu memahami sikap bijak kepolisian seperti itu? 

Harusnya, sebagai pejabat negara, dia menunjukkan sikap kenegarawanan. Seorang negarawan adalah dia yang mampu melupakan dari mana dia berasal, pakai partai apa dia datang, saat duduk di kursi birokrasi dan jabatan-jabatan negara, dia seketika menjadi bagian dari piramida birokrasi penyelenggara negara. Apa yang sudah menjadi sikap negara terhadap sesuatu atau seseorang, seorang negarawan pasti akan sinkronisasikan diri dengan sikap resmi negara.  

Sampai di sini, sudahkah Fachri Hamzah menjadi negarawan? Kalau menyimak ucapan dan sikapnya selama ini sih, rasa-rasanya bukan menepuk jidat atau mengurut dada lagi sih, tapi “siro wogol” tinju.

Catatan redaksi  : Siro Wogol adalah prokem etnis Manggarai NTT yang bila diterjemahkan lurus-lurus berarti "minta benjut ditinju". 

Penulis

Aven Jaman

Editor: Yon L


Berita Terkait

Komentar