Legislator Ini Tuding Bupati dan BPN Bersekongkol Rebut Tanah Rakyat

Senin, 28 Agustus 2017 | 20:17 WIB
Share Tweet Share

Nyoman Tirtawan. [foto: indonesiakoran.com/san edison]

[DENPASAR] Kisruh tanah di Batu Ampar, Desa Pejarakan, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali, tak kunjung menemui titik terang.

Masyarakat yang mengantongi bukti sah atas kepemilikan lahan tersebut, nasibnya terancam. Sebab di sisi lain, Pemkab Buleleng justru mengklaim bahwa tanah tersebut merupakan aset milik daerah.

Kondisi ini pun mendapat perhatian khusus dari anggota DPRD Provinsi Bali, Nyoman Tirtawan.

Menurut politikus Partai NasDem ini, ada logika aneh yang dibangun penguasa di wilayah itu bersama Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Buleleng, yang sesungguhnya berniat merampas tanah milik rakyat.

Bukan itu saja, sebab Tirtawan juga menuding, ada semacam persekongkolan antara penguasa dan BPN, dengan melihat berbagai kejanggalan dalam kisruh tanah di Batu Ampar.

Persekongkolan ini semakin nyata, menurut dia, ketika penguasa setempat mengajukan permohonan pembuatan sertifikat atas lahan yang nyata-nyata berdasarkan dokumen justru adalah milik masyarakat setempat.

"Saat ini Pemkab Buleleng mengajukan pengurusan sertifikat hak milik. Dan kabarnya, itu sedang diproses oleh BPN. Pertanyaannya, apakah BPN mau membuat sertifikat di atas sertifikat? Apakah Bupati dan BPN mau melawan aturan?" ujar Tirtawan, di Gedung DPRD Provinsi Bali, di Denpasar, Senin (28/8/2017).

Ia menilai, apa yang sedang dilakukan Pemkab Buleleng yakni memohon sertifikat untuk tanah di Batu Ampar, adalah upaya nyata merampas hak rakyat.

"Apabila sertifikat itu diterbitkan oleh BPN, maka itu jelas-jelas perbuatan melawan hukum. Itu nyata-nyata merampas tanak milik rakyat," tandasnya.

Dikatakan demikian, lanjut Tirtawan, mengingat masyarakat sesungguhnya sudah memiliki bukti kuat terkait penguasaan lahan di Batu Ampar.

Bukti-bukti tersebut seperti Patok D Tahun 1959, SK Menteri Dalam Negeri terkait penyerahan tanah kepada warga tahun 1982, hingga adanya sertifikat hak milik yang dikantongi warga.

"Masyarakat sudah memiliki bukti kepemilikan kuat seperti ini, lalu ada apa kok Pemkab Buleleng mengajukan permohonan sertifikat untuk tanah itu? Apakah BPN dibenarkan membuat sertifikat di atas sertifikat?" tegas Tirtawan, yang juga anggota Komisi I DPRD Provinsi Bali.

Soal adanya HPL Tahun 1976 yang diklaim oleh Pemkab Buleleng, Tirtawan menegaskan, hal itu hanya akal-akalan penguasa semata guna merampas tanah rakyat.

HPL tersebut, diakuinya janggal karena tidak dapat dibuktikan dokumen tertulisnya sampai saat ini.

"Kalau tiba-tiba ada HPL Tahun 1976, itu sudah janggal. Karena tidak mungkin Menteri Dalam Negeri menerbitkan SK Tahun 1982, kalau ternyata ada HPL sebelumnya. Lagi pula, dokumen tertulis terkait HPL tersebut sampai sekarang tidak ada," jelas Tirtawan.

Dari berbagai kejanggalan ini, Tirtawan mendorong aparat penegak hukum di daerah termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), agar melakukan penelusuran. Ia tidak ingin kisruh di Batu Ampar ini akan menjadi preseden buruk dalam urusan pertanahan di Bali ke depan.

Pada kesempatan tersebut, ia juga mengusulkan agar UU Agraria direvisi. Sebab UU Agraria yang ada saat ini, banyak memberikan kelonggaran bagi pejabat untuk bermain.

"Saya usulkan agar UU Agraria itu direvisi. Pejabat yang melakukan maladministrasi, harus ditindak tegas," pungkas Tirtawan.

Editor: San Edison


Berita Terkait

Komentar