Bisnis Keluarga Cendana Makin Menggeliat

Selasa, 11 Juli 2017 | 14:00 WIB
Share Tweet Share

Siti Hadiyanti Rukmana atau Mbak Tutut. Sumber: Tribunnews.com

[JAKARTA] Di era Reformasi, sedikit sekali informasi terkait bisnis keluarga Cendana.

Terakhir, Rabu (5/7/2017) lalu, anggota Polres Metro Jakarta Timur dan anggota TNI mengusir sekelompok orang yang berusaha mengeksekusi aset MNC TV (dulu disebut Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) di TMII, Cipayung, Jakarta Timur.

Sekelompok preman yang dinamakan Kelompok Flores beranggotakan 200-250 orang itu merengsek masuk ke dalam MNC TV melalui pintu masuk depan dan samping untuk mengeluarkan semua karyawan MNC TV, termasuk personel keamanan.

Kelompok tersebut mendapatkan surat kuasa dari Siti Hadiyanti Rukmana atau Mbak Tutut Soeharto untuk mengambil alih dan menduduki MNC TV berdasarkan keputusan dari Mahkamah Agung.

Sebagaimana diketahui, beberapa aset keluarga Soeharto telah berpindah tangan ke beberapa group pebisnis paska kejatuhan Soeharto.

Dalam sengketa kepemilikan TPI Tutut berpolemik dengan Hary Tanoesoedibjo, pemiliki MNC Group. Sementara di Citra Marga Nusapala, Tutut masih memiliki pengaruh. Padahal, Hary Tanoe, masih mengontrol di atas 30 % saham di CMNP.

Bisnis Keluarga Cendana Di Bali

Polemik Mbak Tutut dengan Hary Tanoe, menjadi salah satu cerita di permukaan geliat bisnis keluarga Cendana di era Reformasi. Sebetulnya, keluarga Cendana telah  menancapkan sayap-sayapnya dalam dunia bisnis. Mbak Tutut, dikabarkan mendapat ratusan hektare tanah di Pulau Dewata-Bali.

Aset potensial itu akan digunakan untuk pengembangan hotel berbintang lima. Sementara, saudara Mbak Tutut,  Bambang Trihadmodjo adalah pemilik Inter Continental Hotel, yang berlokasi di Jimbaran, Bali.

Tutut dalam pembicaraan dengan Waldorf Astoria dan Mandarin Oriental mengembangkan 100-150 hektare tanah yang berlokasi di antara kompleks Nusa Dua Bali dan Bali Cliff.

Lokasi itu kerap disebut Pandawa Beach dan Kutuh Beach. Pada tahun 2013 harga tanah di wilayah Kutuh sebesar Rp 40 miliar per hektare. Dengan demikian, harga tanah Tutut senilai US$400 juta. Di wilayah itu Tutut akan membangunan hotel dan properti.

Pertanyaan penting yang muncul adalah apakah pihak bank masih bernafsu menyediakan dana untuk pembangunan hotel berbintang lima di Bali?

Pertanyaan ini penting untuk diajukan mengingat dalam pemahaman publik selama ini, Tutut tak memiliki uang banyak dan mampu membiayai pembangunan hotel.

Pertannyaan berikutnya adalah mampukah Tutut berkompetisi dalam bisnis perhotelan di Tanah Air?

Khalayak di Tanah Air mengenal Waldrof Astoria di bawah Hilton Group telah menjadi brand  bisnis perhotelan di Jakarta. Brand Hilton sudah menyebar di beberapa daerah, seperti Bandung dan Bali. Di Bali, Hilton berlokasi di Nusa Dua.

Pada akhir bulan Juli, 2013, Gulf Phillips, wakil presiden Hilton untuk Asia Pasific mengatakan, Hilton akan mengembangkan Waldrof Astoria dan Conrad di Jakarta dan Bali. Hilton Brand juga akan dibangun di Jakarta, Bali, dan tempat lain.

Selama ini, dominasi Mulia Group memang memangkas kompetisi di bisnis perhotelan. Apalagi Mulia Group telah membuka resort di Nusa Dua Bali. Mulia akan membunuh pesaing bisnisnya dengan harga US$100 per malam dan St Regis (Peter Sondakh) US$400 per malam.

Rencana Tutut membangun hotel bintang lima di Bali tentu akan berimplikasi pada Shangri-La Resort yang dikontrol ANCORA Group (Gita Wirajawan/mantan Menteri Perdagangan). ANCORA mengontrol wilayah Amanusa Hotel (Awalnya dimiliki Tommy Soeharto ) di Nusa Dua.

Sementara, pada akhir bulan Juli 2013, Tutut telah mendivestasikan 29, 5% saham di PT Citra Marga Nusapala Tbk, sebuah operator jalan tol.

Saudara Tutut lainnya, Sigit Harjojudanto, sebelumnya telah mendapat wilayah di Bali Cliff  Hotel, sebuah Dreamland, di mana Sosro Group membangun beberapa properti disekitarnya.

 

 

Editor: L. Mbo


Berita Terkait

Komentar